Ketua BEM Unpad Sebut RUU Polri Membahayakan Demokrasi
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran atau BEM Unpad Fawwaz Ihza Mahenda buka suara mengenai perubahan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri). Dia menyebut pengesahan RUU tersebut membahayakan demokrasi serta sendi-sendi penegakan keadilan.
“Adanya draf RUU POLRI menunjukan bahwa negara ini sedang mengalami sebuah transformasi besar besaran. Republik ini yang awalnya didirikan atas cita dasar kesejahteraan dengan demokrasi sebagai landasan utamanya telah berubah menjadi negara kekuasaan yang represif dan otoritarian,” kata Fawwaz dalam keterangannya kepada Pace pada Jumat, 26 Juli 2024.
Adapun sebelum memasuki masa reses pada tanggal 12 Juli, DPR RI telah menerima Surat Presiden (Surpres) Rancangan Undang-Undang Polri. Sejak diresmikan sebagai usul inisiatif DPR pada Rapat Paripurna Mei 2024 lalu, RUU ini mendapatkan banyak kritikan.
Fawwaz menyoroti sejumlah poin dalam RUU Polri memberikan kewenangan yang luas kepada polisi namun minim pengawasan. Apalagi, kata Fawwaz, Polri menjadi salah satu institusi paling bermasalah dan korup.
“Banyak sekali kasus yang tidak ditangani serius apabila tidak viral, belum lagi banyak tindakan represif yang masih belum juga diadili sehingga kami menganggap ini impunitas” jelas Fawwaz.
Sejumlah poin yang jadi kekhawatiran Fawwaz dalam RUU Polri di antaranya Pasal 14 huruf o soal wewenang penyadapan yang dapat digunakan secara serempangan, Pasal 14 huruf b mengenai pengawasan ruang siber yang berpotensi melanggar hak privasi, dan Pasal 16 huruf b yang dapat disalahgunakan kepada pejuang ham demokrasi dan lingkungan.
Fawwaz menyebut pihaknya sedang mengawasi dan mengawal isu ini dengan sangat serius. Mereka akan merespon keras terhadap segala macam tindakan penguasa yang dapat mengancam rakyat dan demokrasi.
“Kami siap turun ke jalan dan siap untuk melaksanakan aksi yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya untuk menjaga negara dan rakyat sesuai dengan amanah konstitusi dan Pancasila. Kami tidak pernah takut, karena kami yakin bahwa kami berada di jalan kebenaran,” tegas Fawwaz.
Pakar hukum khawatir RUU Polri bakal bungkam suara kritis
Iklan
Pakar Hukum Tata Negara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti menilai RUU Polri berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, jika disahkan. “Bisa membungkam suara kritis,” kata Bivitri dalam diskusi publik di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, Senin, 22 Juli 2024.
Dengan sejarah yang panjang, menurut Bivitri, seringkali TNI dan Polri dimanfaatkan sebagai alat politik. Aspek sejarah lah, kata dia, yang membuat kepolisian dan TNI memiliki kekuatan politik, sehingga keduanya kerap dimanfaatkan untuk melawan demokrasi.
“Sering kali, kepentingan politik praktis dengan dua alat negara tersebut bertemu dan berkolaborasi untuk tujuan yang nondemokratis,” ucap Bivitri.
Sejumlah pasal dalam RUU ini memperluas wewenang kepolisian, tapi tak membahas mekanisme pengawasan kinerja yang memadai. Jika RUU Polri disahkan, kata dia, akan menciptakan tatanan demokrasi yang buruk.
Menurut dia, kunci demokrasi yang baik adalah akuntabilitas kinerja pemerintah, sementara, akuntabilitas bisa tumbuh berkat adanya pengawasan dan kritik terhadap pemerintah.
Menurut Bivitri bila kolaborasi ini terjadi, maka, bersiaplah akan dibungkam semua, “Bakal ada koalisi besar, maka para aktor politik formalnya akan jinak, maka siapa lagi yang bisa mengkritik pemerintah?” kata dia, hanya tersisa masyarakat sipil.
Namun, bila masyarakat juga dibungkam, menurut dia, pemerintahan akan kembali menjadi otoritarianisme, bukan lagi demokrasi. “Karena bila demokrasi tidak bisa dikritik kekuasaannya, maka dia bukan demokrasi lagi, tetapi menjadi negara otoriter,” tegas Bivitri.
HATTA MUARABAGJA | AFRON MANDALA PUTRA
Pilihan editor: Pemilihan Rektor Unpad Diwarnai Aksi Protes, BEM Siapkan Pakta Integritas