FSGI: 101 Anak di Bawah Umur jadi Korban Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan, 69 Persen Korban Laki-Laki
TEMPO.CO, Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada delapan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan terhitung sejak Januari hingga Agustus 2024. Artinya, dalam setiap bulan setidaknya ada satu kasus terjadi di lembaga pendidikan.
Dari 8 kasus kekerasan seksual (KS) yang semua dalam proses hukum, menurut catatan FSGI, ada 11 pelaku dengan korban mencapai 101 anak di bawah umur.
“Adapun korban KS di satuan pendidikan, ternyata anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan, dari 101 korban, 69 persen anak laki-laki dan 31 persen anak perempuan. Sementara, pelaku KS 72 persen adalah guru laki-laki dan 28 persen murid laki-laki,” bunyi keterangan pers yang diterima Pace pada Sabtu 10 Agustus 2024.
Menurut FSGI, dari 8 kasus KS itu, sebanyak 62,5 persen atau lima kasus terjadi di lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama dan 3 kasus terjadi di satuan pendidikan berasrama. Sedangkan 37,5 persen kasus terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Adapun 62,5 persen kasus terjadi jenjang pendidikan SMP/MTs/Ponpes dan 37,5 persen kasus terjadi di jenjang pendidikan SD/MI.
Adapun wilayah kejadian kasus itu terdiri dari 8 kabupaten/kota di enam provinsi, yaitu kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul (DIY), Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kabupaten Bojonegoro dan Gresik (Jawa Timur), Kabupaten Agam (Sumatera Barat), dan Kabupaten Karawang (Jawa Barat).
Kasus Kekerasan Seksual Di Satuan Pendidikan Berasrama
Dalam catatan FSGI sepanjang 2024, kasus kekerasan di lembaga pendidikan berasrama kembali terjadi di sekolah berasrama. Kali ini terjadi di tiga Pondok pesantren, yaitu sebagai berikut:
1. Pondok Pesantren MTI di Kabupaten Agam (Sumatera Barat) dengan anak korban mencapai 40 santri dan pelaku adalah dua pendidik, yang salah satunya pengasuh asrama. Modusnya, anak korban dipanggil ke kamar pelaku untuk memijat yang kemudian anak korban dicabuli.
2. Pondok Pesantren AI di Kabupaten Karawang (Jawa Barat) dengan anak korban mencapai 20 santriwati dan pelaku adalah pengasuh/guru. Modusnya adalah memberi sanksi santriwati dengan membuka pakaian dan diraba payudaranya saat sedang mengaji. Seharusnya, pendisiplinan dilakukan oleh Guru perempuan/ustadzah jika satriwati dan sanksi harusnya yang mendidik bukan merendahkan dan melecehkan. Pelaku sempat memberikan klarifikasi di media bahwa tidak ada kekerasan seksual di lembaga pendidikannya, namun setelah itu pelaku malah buron. Kemungkinan pelaku melarikan diri setelah tahu ada pelaporan ke pihak kepolisian.
Iklan
3. Pondok Pesantren di Dukun, Kabupaten Gresik (Jawa Timur) dengan 1 anak korban yang merupakan santriwati di Ponpes tersebut yang dititipkan pemerintah daerah untuk melanjutkan pendidikan setelah mengalami kekerasan seksual dari tetangganya tahun 2021 ketika berusia 13 tahun. Namun, saat dititipkan di Ponpes ini diduga kuat malah mendapatkan kekerasan seksual dari Pelaku yang merupakan Kyai yang juga pendidik di Ponpes tersebut. Kasus dalam proses penyelidikan oleh kepolisian.
Dari beragam catatan kasus itu, FSGI menyatakan mengecam tindak kekerasan seksual pada anak yang terjadi di lembaga pendidikan dan mendukung kepolisian memperoses kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dan mengingatkan penggunaan UU Perlindungan Anak.
“Ketika pelaku adalah guru/pendidik/pengasuh maka hukuman dapat diperberat sepertiga karena pendidik merupakan orang terdekat korban,” kata FSGI. “Pelaku harus dihukum maksimal atau seberat-beratnya sesuai peraturan perundangan. Korban juga dipastikan mendapatkan hak pemulihan psikologi serta restitusi.”
Selanjutnya, FSGI mendorong Kementerian Agama bertindak tegas terhadap satuan Pendidikan di bawah kewenangannya sesuai peraturan perundangan. “Jangan berhenti disitu saja, Kemenang harus segera mengevaluasi satuan pendidikan tersebut. Juga memastikan anak-anak terlindungi, dan terpenuhi hak atas pendidikannya, juga pemulihan psikologinya,” kata FSGI.
FSGI juga mendorong Kemenag segera mensosialisasikan secara masif Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. “Aturan yang bagus jika tak dipahami, maka tidak dapat diimplementasikan. Salah satu hal penting yang harus diimplementasikan adalah penyediaan kanal pengaduan bold dan luring yang mampu melindungi korban dan saksi,” kata FSGI.
MOCHAMAD FIRLY FAJRIAN
Pilihan Editor: FSGI Sebut Guru Honorer Seharusnya Diangkat Kontrak Bukan Di-PHK