Rumah Bagi Korban Aksi Terorisme, dari Isana Dewata Menjadi Yayasan Penyintas Indonesia
TEMPO.CO, Jakarta – Memiliki luka yang sama sebagai keluarga korban terorisme Bom Bali I mendorong Ni Luh Erniati bersama beberapa temannya membentuk sebuah wadah untuk mempertemukan korban-korban langsung dan tidak langsung Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002.
Mengingat awal mula Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) lahir, Ni Luh Erniati menuturkan, pada 2003 usai menjalani konseling dengan sesama korban dan penyintas, bersama kelima rekan yang juga kehilangan keluarga akibat tragedi Bom Bali I, tercetus sebuah ide untuk membentuk kelompok penyintas agar memudahkan korban terhubung satu sama lain.
“Kita berlima, ada saya, ada Ibu Eka, ada Pak Wayan ada Pak Zoni, dan satu lagi Ibu Leni namanya. Kita sepakat untuk membuat satu wadah, jadi itu berkumpul, teman- teman yang tidak langsung, jadi yang suaminya meninggal juga ada yang istrinya yang meninggal. Awalnya kami cuma 22 orang, terus kami beri nama Isana Dewata, Istri Suami dan Anak Dewata,” kata Erni kepada Pace.co, Kamis, 8 Agustus 2024.
Seiring berjalannya waktu, solidaritas antar korban tidak hanya terjalin di antara korban-korban Bom Bali, namun menyebar hingga korban bom lainnya di Indonesia.
“Tahun 2016 kami ketemu sama teman-teman korban di jakarta. Peringatan di Bali mereka pada datang ke Bali, dari situ juga kepikiran kenapa kita nggak buat wadah yang lebih besar tidak hanya mencakup Bali, akhirnya kami sepakat untuk membuat Yayasan Penyintas Indonesia (YPI),” kata Erniati, yang kemudian menjadi Ketua YPI Bali.
Sebagai korban yang merasakan besarnya dampak dari aksi teror, kata Erniati, selain rutin menggelar peringatan setiap tahun untuk memaknai kembali tragedi-tragedi kemanusian itu, YPI juga gencar melakukan kampanye perdamaian ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dengan melibatkan korban hingga mantan pelaku teror.
Iklan
“Kami juga Kerjasama dengan LSM, kemudian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) untuk kita bisa bilang itu marketing campaign perdamaian lah, YPI bersama dengan AIDA pergi ke sekolah-sekolan untuk mengadakan conversation interaktif dengan siswa-siswa. Di situ kita sharing, kita sebagai korban,kemudia di AIDA juga ada mantan pelaku yang sudah kembali ke NKRI kemudian udah komitmen untuk kita kerja sama bareng, di situ kita sama-sama sharing.”
Menurut Erniati, kampanye ini dilakukan ke SMP, SMA hingga universitas. Melalui kegiatan ini dia berharap, generasi muda dapat menyadari bahayanya aksi teror, mengetahui motif-motif di baliknya, serta sudut pandang dari korban dan pelaku.
“Jadi biar anak-anak tahu kenapa sih orang ini melakukan ini, kenapa dia kembali lagi, sadar akan kesalahnnya,” katanya. “Kami sebagai korban saling sharing apa yang kami lakukan, apa yang kami rasakan. Sehingga anak-anak itu akan sadar begitu beratnya jadi korban, sehingga akan muncul pikiran apa sih yang harus saya lakukan agar jangan sampai menjadi korban. Jadi mawas diri lah,” ujarnya.
Erniati mengungkapkan, Ia pun beberapa kali pernah mengunjungi pelaku terorisme di lapas. “Saya minta mereka untuk bicara kenapa, saya juga bercerita dari sisi korban, ini loh yang saya rasakan. Jadi disitu poinnya, kami sebagai korban ingin menyadarkan bahwa apa yang dia lakukan itu dampaknya seperti ini,” ujarnya.
Pilihan Editor: Wawancara Keluarga Korban Bom Bali: 4 Bulan Menanti Kabar Suami yang Jadi Korban,Tak Mudah Pulih dari Trauma