Peringati Hari Konstitusi, Bamsoet Ingatkan Konstitusi Jangan Ditafsirkan Sesuai Selera


INFO NASIONAL – Ketua MPR RI ke-16 sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengingatkan bahwa peringatan Hari Konstitusi merupakan momentum penting bagi bangsa untuk menyegarkan kembali memori kolektif serta mengevaluasi praktik penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan. Selain itu, momen ini juga digunakan untuk merefleksikan perjalanan bangsa, apakah sudah sejalan dengan tujuan negara seperti yang diamanatkan oleh konstitusi.

Bambang Soesatyo, mengungkapkan bahwa sebelum terjadinya amandemen pertama hingga keempat pada periode 1999-2002, implementasi konstitusi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara mulai mengalami deviasi. “Konstitusi ditafsirkan sesuai selera, bukan lagi merujuk pada tujuan awal (authentic intent) dan itikad baik (excellent intent) dari rumusan naskah UUD,” ujar Bamsoet saat memperingati Hari Konstitusi dan HUT ke-79 MPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Ahad, 18 Agustus 2024.

Bamsoet menegaskan bahwa amandemen terhadap konstitusi merupakan jawaban atas tuntutan Reformasi yang menuntut pembenahan dan penataan kembali sistem ketatanegaraan, termasuk UUD 1945, agar tidak lagi ditafsirkan, diterjemahkan, dan diimplementasikan secara sepihak dan sewenang-wenang.

Namun Bamsoet menyayangkan bahwa setelah 26 tahun Reformasi, muncul kembali wacana untuk mengkaji opsi amendemen terhadap UUD 1945. “Dalam konsepsi ini, konstitusi jangan hanya dimaknai sebagai lembaran dokumen hukum. Karena sejatinya, ia mengandung pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah nilai-nilai luhur bangsa yang hanya akan bermakna ketika membumi dalam ruang realita,” tegas Bamsoet.

Acara peringatan tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh penting, antara lain Wakil Presiden RI Ok.H. Ma’ruf Amin, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, Lestari Moerdijat, Jazilul Fawaid, Syarif Hasan, Hidayat Nur Wahid, Fadel Muhammad, Yandri Susanto, dan Amir Uskara. Juga hadir Ketua DPD AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Wakil Ketua DPD Nono Sampono, Menparekraf Sandiaga Uno, serta Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai.

Dalam pidatonya, Bamsoet menjelaskan bahwa sepanjang sejarah bangsa Indonesia, implementasi konstitusi sebagai hukum dasar telah melalui berbagai dinamika. Mulai dari pemberlakuan UUD 1945, UUD Republik Indonesia Serikat, UUD Sementara, UUD NRI 1945 hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga UUD NRI 1945 yang telah diamendemen pada periode 1999-2002.

Iklan

“Pengalaman sejarah ini mengisyaratkan bahwa perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap periode pemerintahan akan dihadapkan pada tantangan zamannya masing-masing, baik yang muncul dari perubahan sosial, politik, ekonomi, kemajuan teknologi, maupun dari perbedaan cara pandang kita dalam memaknai arus perubahan,” jelas Bamsoet.

Lebih lanjut, Bamsoet menekankan bahwa setelah 26 tahun technology Reformasi, sudah waktunya untuk merenungkan kembali dan mengevaluasi bagaimana konstitusi sebagai sumber tertib hukum basic diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Serta bagaimana kita memaknai kembali peran dan kedudukan MPR, khususnya pasca empat kali amendemen konstitusi.”

Ia juga menggarisbawahi bahwa konstitusi harus “hidup” (residing charter) dan “bekerja” (running charter), mampu menjawab setiap tantangan dan dinamika zaman. Konstitusi harus dijadikan rujukan yang diimplementasikan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

“Dalam memaknai kembali kedudukan dan peran MPR, kita harus merujuk dari perspektif bahwa MPR adalah satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional tertinggi, antara lain mengubah dan menetapkan UUD. MPR juga satu-satunya lembaga yang paling merepresentasikan daulat rakyat, karena terdiri dari anggota DPR dan DPD,” ujar Bamsoet.

Bamsoet menutup dengan menyatakan bahwa negara-negara demokrasi terbesar di dunia tidak anti dengan amendemen konstitusi. “Amerika Serikat telah mengubah konstitusi sebanyak 27 kali. India telah mengubah konstitusinya sebanyak 106 kali selama periode 1950 hingga 2023. Namun, serumit apapun dinamika politik, kita tidak boleh mengorbankan pilar-pilar basic dalam kehidupan berbangsa, yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” kata Bamsoet. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *