Beragam Respons Soal Baleg DPR Tidak Patuhi Putusan MK


TEMPO.CO, Jakarta – Badan Legislasi atau Baleg DPR buru-buru menggelar rapat usai Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Melalui rapat itu Baleg DPR RI dan pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna DPR guna disahkan menjadi undang-undang.

Persetujuan itu disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024. Adapun delapan fraksi di Baleg DPR RI menyatakan setuju terhadap pembahasan lebih lanjut RUU Pilkada. Delapan fraksi itu meliputi Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Demokrat, Fraksi Golkar, Fraksi PKS, Fraksi NasDem, Fraksi PAN, Fraksi PKB, dan Fraksi PPP, sedangkan Fraksi PDI Perjuangan menyatakan menolak pembahasan RUU Pilkada untuk diundangkan.

Gerak cepat Baleg DPR RI tersebut dalam membahas rancangan undang-undang guna merespon putusan MK tersebut lantas mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Pakar Hukum Tata Negara, Fraksi PDIP, hingga aliansi akdemisi dan masyarakat sipil.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Gede Dewa Palguna mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Pilkada yang dibahas di Badan Legislatif DPR RI merupakan bentuk pembangkangan secara telanjang.

Palguna mengatakan MKMK tidak perlu bersikap apa-apa terkait dinamika yang terjadi di antara pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, karena MKMK memang tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa Baleg. “Tapi, cara ini, buat saya pribadi adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi,” kata Palguna dikutip dari Antara, Rabu, 21 Agustus 2024.

Palguna juga mengatakan, pembahasan RUU Pilkada oleh Baleg DPR RI itu sudah berada di luar kewenangan MK. “Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society (masyarakat sipil) serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapekan. MK adalah pengadilan yang, sebagaimana galibnya (lazimnya) pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan,” tegas dia.

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada

Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yance Arizona mengatakan, keputusan Badan Legislasi DPR RI yang menyepakati untuk mengikuti aturan Mahkamah Agung terkait syarat batas usia calon kepala daerah dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon adalah pembangkangan terhadap konstitusi.

“Langkah yang dilakukan oleh Baleg adalah pembangkangan terhadap konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi merupakan penjelmaan dari prinsip-prinsip konstitusi,” ujar Yance dikutip dari Antara, Rabu, 21 Agustus 2024.

“Kita menyaksikan bahwa DPR sebenarnya sedang bermain menjadi proksi dari kepentingan penguasa untuk memberi karpet merah bagi kandidat tertentu,” kata dia.

Iklan

Yance menilai, situasi ini menunjukkan bahwa DPR kali ini lebih buruk dibanding DPR pada masa orde baru. Kalau DPR pada masa orde baru hanya menjadi tukang stempel dari RUU yang diajukan oleh penguasa. Kali ini, DPR menjadi proksi aktor yang membuat undang-undang yang memberikan keuntungan kepada penguasa dengan merusak sendi-sendi demokrasi dan negara hukum.

Fraksi PDIP

Anggota Fraksi PDI Perjuangan T.B. Hasanuddin menyampaikan bahwa Rapat Badan Legislasi DPR RI pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada yang disebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat ambang batas pencalonan dalam pilkada berlangsung singkat dan langsung ketok palu.

“Itu hanya ‘sat-set sat-set’ ketok saja, begitu ya,” kata Hasanuddin kepada awak media di Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu, 21 Agustus 2024.

Menurut ia, ada kejanggalan dalam rapat tersebut karena draf RUU Pilkada yang ditayangkan di layar tidak sama dengan draf dokumen yang dicetak dan dibagikan kepada anggota DPR peserta rapat. “Saya ulangi lagi, tadi yang ditayangkan itu tidak sesuai dengan keputusan MK. Begitu dicetak, beda,” kata dia.

Constitutional and Administrative Regulation Society (CALS)

Constitutional and Administrative Regulation Society (CALS) yang merupakan gabungan atau kelompok dari akademisi dan masyarakat sipil pemerhati hukum konstitusi, mendesak DPR RI dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

Dalam pernyataan sikapnya, Anggota CALS Titi Anggraini meminta pemerintah dan DPR mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan MK pada 20 Agustus 2024.

CALS juga mendesak elite-elite politik untuk tidak mengakali aturan major pilkada, khususnya dengan cara-cara mempersempit ruang untuk berkompetisi, menutup pencalonan kandidat-kandidat alternatif, dan memborong dukungan sampai akhirnya terbentuk koalisi yang gemuk. Karenanya, CALS juga meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menindaklanjuti dua putusan MK itu.

NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | ANTARA | SAPTO YUNUS
Pilihan editor: DPR Tunda Sahkan RUU Pilkada CALS Strategi Testing The Water

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *