RUU Paten Dibahas di DPR, Koalisi Khawatirkan Masa Monopoli atas Obat


TEMPO.CO, Jakarta — Sejumlah kalangan organisasi non-pemerintah mengkhawatirkan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Mereka menengarai, Rancangan Undang-undang (RUU) Paten yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menguntungkan perusahaan farmasi asing dan menghambat akses warga pada obat.

Indonesia AIDS Coalition (IAC), Indonesia for World Justice (IGJ), dan Koalisi Obat Murah (KOM), mengkritik Rancangan Undang-undang (RUU) Paten itu karena dapat merugikan kelompok pasien dan masyarakat umum. Alasannya, ada ketentuan dalam RUU Paten itu yang mengarah pada perpanjangan masa monopoli paten atas obat oleh perusahaan farmasi. Selain itu ditengarai adanya pelemahan mekanisme yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mendorong akses masyarakat ke obat.

Menurut Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana aturan yang akan memperpanjang monopoli adalah perubahan pada Pasal 4 huruf f. Pasal ini awalnya menjadi ketentuan yang digunakan untuk mencegah penggunaan kedua dari paten obat (secondary use of patent), juga paten atas senyawa yang sudah diketahui tanpa adanya peningkatan khasiat yang bermakna. “Kedua ketentuan ini melindungi masyarakat dari upaya perpanjangan paten yang kerap dilakukan perusahaan farmasi,” ujar Aditya lewat keterangan tertulis, Senin, 2 September 2024.

Aturan sebelumnya dalam pasal tersebut melarang pendaftaran paten untuk penggunaan baru dari obat yang sudah ada. Namun dalam RUU, larangan itu kemudian disebut menjadi diperbolehkan. Aditya mencontohkan, Sildenafil. Obat ini selain untuk disfungsi ereksi juga dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi paru. Di aturan RUU tersebut, menurut dia, Sildenafil dapat menerima dua paten untuk dua jenis penyakit meski obat yang digunakan sama. “Hal ini semakin membuka ruang untuk monopoli bagi segelintir perusahaan farmasi,” kata dia.

Contoh lain, saat pandemi COVID-19. Dia menjelaskan, ketika suatu obat penyakit tertentu yang sudah ada dinilai cocok, maka obat tersebut akan didaftarkan paten keduanya untuk COVID-19. Praktik seperti itu, menurut Aditya, sering dilakukan dan memperpanjang paten atas obat-obatan. “Yang seharusnya masa patennya sudah habis dan versi generiknya dapat diproduksi,” ujarnya. 

Selain itu, dia melanjutkan, perusahaan farmasi diduga mendaftarkan paten sekunder atau paten kedua dengan memodifikasi obat yang telah ada. Dia mencontohkan Tenofovir yang digunakan untuk pengobatan HIV telah mengalami perpanjangan paten selama 16 tahun karena adanya paten sekunder. Dengan perubahan yang terjadi di RUU Paten, kata dia, dikhawatirkan akan semakin banyak obat dengan paten berkualitas rendah yang didaftarkan. “Untuk monopoli dan meraih keuntungan sebesar-besarnya dari suatu penyakit,” kata Aditya. 

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Program Isu Kesehatan IGJ, sekaligus anggota KOM, Agung Prakoso menduga usulan perubahan pasal tersebut disusupkan untuk kepentingan monopoli perusahaan farmasi. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (HaKI) diminta tidak berorientasi untuk menambah jumlah paten sebanyak mungkin yang sarat kepentingan bisnis. “Karena terdapat kelompok pasien yang akan terdampak oleh berbagai ketentuan di RUU Paten,” ujarnya. Mereka mendesak agar ketentuan di Pasal 4 huruf f dikembalikan ke ketentuan sebelumnya dalam UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Iklan

DPR saat ini tengah membahas RUU Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Pembahasan ini untuk meningkatkan penyelenggaraan layanan paten yang responsif terhadap perkembangan masyarakat. 

Ketua Pansus RUU Paten Wihadi Wiyanto menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Paten kepada Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas sebagai perwakilan dari pemerintah. Dilansir dari web site jdih.dpr.move.identity, Wihadi berharap RUU Paten ini dapat segera ditindaklanjuti dengan melakukan pembahasan antara DPR bersama pemerintah.  “Ada sekitar 53 DIM yang akan dibahas,” ujar dia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Selasa lalu, 27 Agustus 2024. 

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyambut baik penyerahan DIM tersebut.  “Pemerintah segera membahas DIM ini,” kata Supratman. Ia berharap sebelum penutupan masa persidangan DPR, RUU Paten ini dapat disahkan.
 

Pilihan Editor:

Kedubes Belanda Buka Suara Soal Kabar Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia Belum Kembalikan Paspor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *