Soal Artis Maju Pilkada 2024, Akademikus: Popularitas Saja Belum Cukup Jadi Modal Politik
TEMPO.CO, Jakarta – Akademikus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Ardli Johan Kusuma mengatakan popularitas artis belum cukup untuk modal politik pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024. Dia menilai sekadar populer tidak akan bisa menembus pasar pemilih yang rasional.
“Keberadaan nama-nama deretan artis dalam Pilkada 2024 tidak akan menjamin bahwa mereka akan memenangkan pertarungan pilkada,” kata Ardli saat dihubungi di Jakarta pada Sabtu, 14 September 2024.
Ardli tidak menafikan popularitas menjadi salah satu modal untuk masuk dunia politik. Namun, untuk pertarungan elektabilitas dalam Pilkada 2024, tidak bisa hanya mengandalkan popularitas.
Dia menyebutkan, bila dibandingkan dengan Pemilu 2024, terutama pada pemilihan umum anggota legislatif (pileg), banyak artis yang mengikuti kontestasi tersebut. Namun pada kenyataannya lebih dari 80 persen gagal terpilih.
“Ini membuktikan bahwa populer saja masih belum cukup untuk dijadikan modal politik,” ujarnya.
Pada pilkada sebelumnya, kata dia, ada juga beberapa artis yang berhasil memenangi pilkada, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Namun, kata Ardli, mereka yang menang rata-rata tidak hanya mengandalkan popularitas. Mereka juga sudah konsisten terjun di dunia politik praktis dalam waktu relatif lama sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan publik.
“Mereka tidak hanya mengandalkan popularitas untuk mencalonkan diri, tetapi membuktikan bahwa mereka memiliki pengalaman politik yang cukup, misalnya menjadi kader partai politik dalam waktu yang cukup lama,” kata dia.
Jalan Pintas Mencari Suara
Adapun Direktur Eksekutif Community for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay menilai banyaknya artis yang jadi calon kepala daerah pada Pilkada 2024 membuktikan partai politik gagal mencetak kader berkualitas.
“Ini bukti ketidakmampuan partai politik dalam menyiapkan kader lengkap dan tuntas,” tutur Hadar.
Hadar mengatakan partai politik seharusnya dapat membaca kebutuhan masyarakat ataupun wilayah tempat pilkada berlangsung. Setelah membaca kebutuhan tersebut, tugas partai selanjutnya adalah menyiapkan kader yang memiliki pengalaman dan kapabilitas yang dapat menjawab seluruh permasalahan masyarakat.
Namun, kata dia, partai politik justru lebih memilih mencalonkan tokoh dari kalangan artis sebagai kepala daerah. “Itu wujud pragmatisme berlebihan, jalan pintas mencari suara,” katanya.
Pilihan editor: Pengamat Sebut Gerakan Sipil Bisa Cegah Ekspansi Dinasti Politik Jokowi