CALS: Pencabutan TAP MPR Diduga Jadi Upaya Menjadikan MPR Sebagai Lembaga Tertinggi
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Presidium Masyarakat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara alias Constitutional and Administrative Regulation Society (CALS), Bivitri Susanti, menduga, MPR berupaya menghidupkan Ketetapan atau TAP MPR untuk kembali menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Analisa itu didasarkan dengan melihat tindakan MPR yang mencabut sejumlah TAP MPR terkait putusan perundang-undangan terhadap tiga mantan presiden RI yaitu Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid.
“Kami berhak mempertanyakan, kenapa tiba-tiba TAP MPR ingin dihidupkan lagi? Jangan -jangan MPR ingin menjadi tremendous elite lagi,” kata dosen hukum tata negara pada Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini dalam diskusi TAP MPR yang diadakan CALS melalui YouTube, Ahad 29 September 2024.
Bivitri mengatakan, sejak Amandemen UUD 1945 pada 2002, MPR tidak memiliki kewenangan lagi untuk mengeluarkan TAP MPR. Kemudian, lahir TAP MPR Nomor I/MPR/2003 berisi peninjauan terhadap standing hukum dan materi Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR Republik Indonesia tahun 1960–2002.
Kelahiran TAP MPR Nomor I ini membuat tidak berlaku lagi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno; dan TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid. “Jadi sebetulnya dua TAP MPR soal Soekarno dan Gus Dur itu sudah selesai,” kata Bivitri.
Masalahnya, TAP MPR Nomor I itu tak bisa menghapus menghapus nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dari situ, Bivitri menilai, ada upaya menghidupkan TAP MPR untuk menempatkan MPR menjadi lembaga tertinggi negara.
Indikasinya, Bivitri mengaku, dirinya dan anggota CALS kerap diundang MPR untuk membahas keinginan itu. CALS yang terdiri dari pakar hukum tata negara dan administrasi negara kerap diminta masukannya mengenai upaya mengubah amandemen konstitusi dan melegitimasi keinginan itu.
Dalam pembahasan itu, Bivitri mengatakan, memang ada pengaturan TAP MPR dalam pasal 7 UU Nomor 2 Tahun 2011 yang diperbarui dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, dalam aturan itu dijelaskan hanya mengakomodasi TAP MPR yang bisa ditindaklanjuti atau tidak. “Bukan berarti bisa terus dikeluarkan TAP MPR,” kata Bivitri.
Iklan
Menurut Bivitri, CALS lebih setuju MPR sejajar dengan lembaga lain. Menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi merupakan gagasan usang. Hal itu juga berdampak buruk bagi demokrasi karena bisa membuat tak ada take a look at and balances.
MPR belakangan mencabut sejumlah Ketetapan atau TAP MPR terkait putusan perundang-undangan terhadap tiga mantan presiden RI yaitu Ir Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid. Produk hukum lembaga rembuk rakyat itu disebut telah mencoreng nama baik ketiga tokoh ini dan karenanya kini dicabut.
MPR mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2021 terkait Presiden Keempat RI Abdurahman Wahid pada Rabu, 25 September 2024. Keputusan ini sekaligus memulihkan nama Gus Dur –sapaan Abdurrahman Wahid. Keputusan ini disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR.
“Pimpinan MPR menegaskan TAP II/MPR 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi,” kata Bambang.
Bersamaan hari dengan pembatalan TAP Nomor II/MPR/2001, MPR juga mencabut nama Presiden Kedua RI Soeharto dari Pasal 4 dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, nepotisme (KKN). Keputusan MPR mencabut nama Soeharto disampaikan Bambang Soesatyo dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024, Rabu.
Pilihan Editor: Keluarga Terima Surat Pencabutan TAP MPR soal Gus Dur