Logo Tempo

Selain Hasto, Siapa Lagi yang Tersangkut Perkara Harun Masiku


TEMPO.CO, Jakarta – Kasus suap oleh Harun Masiku menjadi salah satu polemik hukum yang jadi perhatian publik belakangan ini. Terlebih setelah Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka, kemudian ditahan KPK. Sejak terungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Januari 2020, kasus ini telah menyeret sejumlah nama ke meja hijau, mulai dari pejabat penyelenggara pemilu hingga politisi.

Namun, sosok utama dalam kasus ini, Harun Masiku, hingga kini masih buron dan belum ditemukan keberadaannya, meskipun sudah lima tahun berlalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Harun menjadi sasaran OTT KPK karena diduga memberikan suap kepada Wahyu Setiawan demi memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, setelah berhasil melarikan diri dari OTT, ia terus bersembunyi. Beberapa laporan sempat menyebut bahwa ia bersembunyi di Kamboja, sementara dugaan lain menyatakan bahwa ia masih berada di Indonesia.

Berikut adalah daftar beberapa tokoh politik yang telah terseret dalam kasus suap Harun Masiku, beserta peran mereka dalam skandal tersebut.

Menurut laporan Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020, Donny Tri Istiqomah sebenarnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap ini. Ia tertangkap dalam OTT KPK pada 8 Januari 2020 bersama Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Feidelina, dan Saeful Bahri. Ketiga nama terakhir telah divonis bersalah dalam kasus tersebut.

Donny, yang berprofesi sebagai advokat sekaligus kader PDIP, diduga berperan sebagai perantara dalam penyuapan yang melibatkan Harun Masiku. Ia juga disebut memiliki kedekatan dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, yang bersikeras agar Harun Masiku bisa masuk ke DPR melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).  

Hasto diduga menyerahkan uang sebesar Rp 400 juta kepada Saeful Bahri melalui Donny Tri Istiqomah untuk diberikan kepada Wahyu Setiawan, guna melancarkan langkah Harun Masiku ke Senayan.  

Laporan Majalah Tempo tersebut mennjelaskan sempat terjadi perbedaan pendapat di internal KPK terkait penetapan Donny dan Hasto sebagai tersangka dalam kasus ini. Wakil Ketua KPK saat itu, Nawawi Pomolango, mengambil peran sebagai penengah. Mantan hakim Pengadilan Tinggi Denpasar itu menyatakan bahwa Harun memang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Hasto dinilai belum cukup bukti.

Nawawi juga berpendapat bahwa Donny, sebagai pengacara partai, hanya menjalankan tugasnya sehingga tidak bisa dikenakan jerat hukum. Akibatnya, KPK akhirnya hanya menetapkan Wahyu dan Agustiani sebagai penerima suap, sementara Saeful dan Harun dijerat sebagai pemberi suap.

Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan diketahui menerima suap untuk melancarkan proses pergantian antar waktu anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Fraksi PDIP Nazarudin Kiemas ke Harun Masiku.

Dalam kasus ini, Wahyu terbukti menerima suap sebesar Rp 600 juta dari mantan kader PDIP Harun Masiku dan Saeful Bahri, serta gratifikasi senilai Rp 500 juta. Suap tersebut diberikan agar Wahyu membantu Harun menduduki kursi DPR melalui mekanisme PAW. 

Wahyu sendiri telah divonis 7 tahun penjara serta dikenai denda sebesar Rp 200 juta dengan ketentuan subsider 6 bulan kurungan. Mahkamah Agung (MA) sempat menolak permohonan kasasi dari Jaksa KPK, tetapi tetap memperberat hukumannya.  

Selain menambah hukuman pidana pokok, Majelis Hakim juga memperpanjang pencabutan hak politik Wahyu dari 4 tahun menjadi 5 tahun. MA beralasan bahwa sebagai anggota KPU, Wahyu memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan pemilihan umum berlangsung jujur, bersih, dan berintegritas.  

Kader PDIP Saeful Bahri dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta atas tindakannya menyuap Wahyu Setiawan saat masih menjabat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam sidang yang digelar pada Kamis, 28 Mei 2020, Saeful dijatuhi hukuman 1 tahun 8 bulan penjara.  

Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa Saeful bersama Harun Masiku terbukti memberikan suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu. Uang tersebut diberikan dengan tujuan agar Wahyu membantu meloloskan Harun sebagai anggota DPR melalui mekanisme PAW.  

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti putusan tersebut sebagai bagian dari tren vonis ringan bagi pelaku korupsi. Berdasarkan catatan ICW, rata-rata hukuman bagi terdakwa kasus korupsi sepanjang 2019 hanya berkisar 2 tahun 7 bulan penjara.

Mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Agustiani Tio Fridelina, turut terlibat sebagai perantara dalam kasus suap ini. Ia telah divonis bersalah dan menyelesaikan masa hukumannya.  

Tio telah dinyatakan bersalah dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu  anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku, kasus yang kemudian turut menyeret nama Hasto Kristiyanto. Pada 2020, ia dijatuhi hukuman 4 tahun penjara serta denda sebesar Rp 150 juta dengan ketentuan subsider 4 bulan kurungan.

Kasus Harun Masiku yang menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto kembali dibuka pada pertengahan 2024 setelah lama mengendap sejak 2020. KPK mulai menyelidiki ulang dengan memeriksa tiga saksi dari kerabat Harun, termasuk seorang pengacara dan dua mahasiswa, untuk melacak keberadaan buron tersebut.

Pada 10 Juni 2024, Hasto turut dipanggil sebagai saksi dalam kasus suap yang melibatkan Harun. Sebulan kemudian, pada 18 Juli 2024, KPK memeriksa Dona Berisa, istri mantan kader PDIP Saeful Bahri, terkait dugaan perintangan penyidikan. Adapun Saeful telah didakwa menyuap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan Rp 600 juta dan kini telah bebas.

Setelah pemeriksaan Dona, KPK resmi membuka penyelidikan obstruction of justice dalam kasus ini. Namun, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika belum merinci kemungkinan penerapan pasal perintangan penyidikan terhadap pihak-pihak terkait.

Pasca Pilkada 2024, KPK menetapkan Hasto sebagai tersangka kasus suap terhadap Wahyu Setiawan. Setyo Budiyanto menyebut Hasto memiliki peran penting dalam penyuapan tersebut. Selain itu, ia juga dijerat dengan pasal perintangan hukum karena diduga membantu pelarian Harun Masiku saat KPK berupaya menangkapnya pada 2020.

Setelah 59 hari berstatus tersangka, Hasto resmi ditahan oleh KPK pada Kamis, 20 Februari 2025, selama 20 hari hingga 11 Maret 2025 di Rutan Klas I Jakarta Timur. Ketua KPK menyatakan penahanan ini terkait dengan dugaan upaya Hasto menghambat penyidikan kasus korupsi dalam penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024.

Setyo menambahkan, perintangan hukum tersebut dilakukan bersama Saeful Bahri melalui pemberian suap atau janji kepada Wahyu Setiawan, dibantu oleh Agustiani Tio. Hasto dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Ade Ridwan Yandwiputra, Mutia Yuantisya, Annisa Febiola, dan Hendrik Khoirul Muhid turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *