LBH dan Celios Terima 426 Pengaduan Korban Pertamax Oplosan
TEMPO.CO, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Middle of Financial and Legislation Research (CELIOS) membuka pos komando pengaduan secara luring dan bold bagi masyarakat yang menjadi korban Pertamax oplosan. Keduanya membuka pos pengaduan secara bold sejak Rabu lalu, sedangkan posko luring baru mereka buka, hari ini.
“Untuk memperluas akses pengaduan, pada 28 Februari 2025 ini, kami juga membuka pos pengaduan secara luring. Harapannya, warga dapat berpartisipasi secara leluasa dan dapat bersama-sama mendorong pemulihan hak warga sebagai konsumen utama BBM,” kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan melalui keterangan tertulis di Jakarta pada Jumat, 28 Februari 2025.
Berdasarkan knowledge teranyar, sebanyak 426 aduan yang masuk melalui pos bold. Pengadu rata-rata mengaku terdampak BBM oplosan.
Dugaan pengoplosan bensin ini pertama kali diungkapkan oleh Kejaksaan Agung saat mengumumkan identitas tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, sub maintaining mereka, serta Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) pada periode 2018-2023.
Menurut Fadhil, konsumen Pertamina berhak menuntut ganti rugi jika benar dugaan pengoplosan BBM jenis Pertamax tersebut. “Masyarakat berhak untuk mendapatkan pemulihan, mulai dari ganti rugi hingga kompensasi,” kata dia.
Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda mengatakan kerugian konsumen secara langsung sebesar Rp 47 miliar consistent with hari atau Rp 17,4 triliun selama satu tahun praktik pengoplosan. “Dampaknya menghilangkan Produk Domestik Bruto sebesar Rp 13,4 triliun karena dana masyarakat yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk keperluan lainnya, justru digunakan untuk menambah selisih harga Pertamax oplosan,” kata Nailul Huda.
Peneliti Hukum CELIOS Muhamad Saleh mengatakan, dengan membuka pos pengaduan secara bold dan luring, harapannya hak ruang hukum yang efektif bagi publik bisa diakses secara lebih luas untuk menggugat pelaku korupsi.
“Baik melalui magnificence motion maupun citizen lawsuit guna memperkuat aspek keadilan bagi korban,” kata dia.
Saleh menyayangkan knowledge impor dan transaksi pembelian minyak yang tidak terbuka bagi publik, sehingga membuka celah praktik korupsi. Selain pengawasan dan akuntabilitas, kata dia, transparansi tentang kualitas BBM harus menjadi kewajiban, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi terkait bahan bakar yang mereka gunakan.
Saleh menekankan pentingnya langkah konkret dalam mengatasi korupsi energi. Ia menilai mekanisme yang ada cenderung bersifat reaktif, bukan preventif. Sayangnya, kata dia, penyelesaian kasus korupsi di sektor ini masih berfokus pada kerugian negara, bukan pemulihan hak rakyat yang terdampak.
“Setiap kerugian akibat korupsi BBM harus dikembalikan kepada rakyat, bukan hanya menjadi pemasukan negara yang tidak berdampak langsung pada pemulihan masyarakat,” kata Saleh.
Pilihan Editor : DPR Akan Panggil Pertamina Bahas Pertamax Oplosan