Logo Tempo

PBNU Sebut UU Kebebasan Beragama jadi Upaya Negara Atasi Konflik Akar Rumput


TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menilai usulan pembentukan undang-undang kebebasan beragama bisa menjadi upaya negara mengatasi konflik antaragama di akar rumput. UU kebebasan beragama merupakan gagasan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai.

Gus Yahya, begitu ia akrab disapa, meyakini UU tersebut bukan menyoal fasilitas yang diberikan negara, melainkan soal penyelesaian konflik di masyarakat. “Itu bukan soal fasilitasnya, tapi soal mengatasi masalah-masalah yang muncul di dalam pergaulan antarkomunitas,” katanya lewat keterangan tertulis pada Kamis, 13 Maret 2025.

Ia mengatakan, setiap orang memang memiliki kebebasan dalam memilih sesuatu yang diyakininya, termasuk agama. Pengakuan negara terhadap enam agama resmi juga sudah menjadi bagian anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta produk perangkat negara lainnya.

“Secara fitrah memang nggak bisa dilarang, bagaimana caranya melarang?” ujar Gus Yahya.

Ketua PBNU Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid berpendapat usulan pembentukan UU kebebasan beragama merupakan wacana yang sangat baik karena negara dapat menjamin perlindungan kepada setiap warganya.

Alissa mencontohkan agama lokal seperti Kaharingan dan Sunda Wiwitan, yang para penganutnya, menurut dia, masih mengalami kesulitan dalam hal perlindungan. “Begitu sekarang ada aturan itu maka akan lebih baik, perlindungannya lebih jelas,” katanya.

Sebelumnya Natalius Pigai mengusulkan pembentukan UU Kebebasan Beragama, yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. “Kami menginginkan untuk ke depan harus ada Undang-Undang Kebebasan Beragama,” kata Pigai dalam schedule konferensi pers di Kementerian HAM pada Selasa, 11 Maret 2025.

Pigai menjelaskan, dirinya memilih untuk menggunakan frasa ‘kebebasan beragama’ dibandingkan ‘perlindungan umat beragama’ bukan tanpa alasan. Penggunaan frasa ‘perlindungan umat beragama’, menurut dia, menciptakan konotasi bahwa penyerangan terhadap kebebasan beragama sudah dan masih terus terjadi.

“Itu seakan-akan kita menerima fakta adanya pengekangan kebebasan (beragama). Negara tidak boleh mengakui dan menjustifikasi adanya ketidakadilan dalam beragama,” ucap Pigai. 

Meskipun begitu, Pigai mengatakan penamaan untuk regulasi tersebut nantinya masih bersifat fleksibel. Ia membuka ruang diskusi untuk memberikan nama bagi produk hukum yang akan dibuat nantinya.

Adapun keinginannya untuk merumuskan regulasi yang menjamin kebebasan beragama tersebut didasari oleh hasil riset The Economist Intelligence Unit (EIU), sebuah lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris. Hasil riset terbaru lembaga tersebut menunjukkan kebebasan sipil, termasuk juga kebebasan beragama di Indonesia masih sangat kurang.

Diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, dalam hal ini umat beragama yang agamanya tidak diakui secara resmi oleh negara disebut oleh Natalius masih sering terjadi. Hal tersebut yang menurut dirinya menjadi salah satu biang keladi terus anjloknya indeks demokrasi Indonesia.

Vedro Imanuel Girsang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *