MK Kabulkan Gugatan Caleg Terpilih Tidak Boleh Mundur untuk Maju Pilkada
TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sebagian gugatan pelarangan pengunduran diri calon anggota DPR/DPD dan DPRD terpilih (caleg terpilih) demi maju pilkada.
Ketua MK Suhartoyo mengatakan, caleg terpilih boleh saja mundur. Namun bukan untuk maju di Pilkada.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” kata Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta dipantau by the use of YouTube Mahkamah Konstitusi, Jumat, 21 Maret 2025.
Adapun putusan perkara nomor 176/PUU-XXII/2024 itu diajukan oleh tiga mahasiswa, yakni Adam Imam Hamdana, Wianda Julita Maharani, dan Wianda Julita Maharani.
MK dalam hal ini mengubah isi Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 426 ayat 1 itu menjelaskan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri.
MK lantas mengubah poin b dalam pasal tersebut. MK menilai pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
“Sepanjang tidak dimaknai ‘mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum’,” ujar Suhartoyo
Dalam pertimbangannya, Suhartoyo mengatakan, fenomena caleg terpilih hasil Pemilu 2024 yang mengundurkan diri itu tidak baik bagi kualitas demokrasi. Fenomena itu, kata MK, tidak menutup kemungkinan adanya politik transaksional.
“Tidak menutup kemungkinan menjadi bersifat transaksional yang mendegradasi perwujudan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi dari pemilihan umum,” kata dia.
Karena itu, Mahkamah berpendapat calon terpilih yang mengundurkan diri karena hendak mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah/wakil kepada daerah adalah hal yang melanggar hak konstitusional pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Namun, MK mengatakan, caleg terpilih bisa saja mundur. Namun, pengunduran diri itu untuk menjalankan tugas negara yang lain seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya.
“Artinya, jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officers), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officers),” ujar dia.