5 Fakta Kasus Ladang Ganja di Bromo, dari Dalang Masih Diburu hingga Tudingan Warganet
TEMPO.CO, Jakarta – Media sosial diramaikan ihwal penemuan ladang ganja di Bromo, tepatnya di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). House konservasi tersebut dijadikan lahan produktif dengan ditanami mariyuana di puluhan titik dengan luas general nyaris satu hektare persegi.
Berikut beberapa fakta yang dirangkum Pace dari awal pengungkapan hingga proses persidangan di meja hijau:
1. Ditemukan Sejak September 2024
Ladang ganja di wilayah pegunungan Bromo pertama kali ditemukan oleh anggota polisi dari Kepolisian Resor Lumajang pada akhir September 2024. Saat itu, Polres Lumajang tengah mengamankan ganja kering lebih dari satu kilogram dari warga di Kecamatan Tempursari. Mengingat besarnya barang bukti atau barbuk, polisi curiga ada lokasi penanaman.
Singkat cerita, setelah penyelidikan selama satu setengah bulan, polisi berhasil menemukan dua orang yang menuju ke ladang ganja di kawasan hutan Desa Argosari, masih dalam wilayah TNBTS.
“Dari lokasi-lokasi tersebut, petugas menemukan sebanyak 41 ribu batang tanaman ganja. Penyisiran dan mapping masih terus kami lakukan. Mudah-mudahan kita temukan lagi,” kata Kapolres Lumajang AKBP Mohamad Zainur Rofiq di halaman Mapolres Lumajang, Sabtu, 28 September 2024.
2. Polisi Tetapkan 6 Tersangka
Dalam kasus ini, kepolisian menetapkan 6 warga Dusun Pusung Duwur, Desa Agrosari, Lumajang, sebagai tersangka. Mereka ditangkap dengan barang bukti 41 ribu batang pohon ganja serta puluhan kilogram ganja kering.
Para tersangka itu adalah Tomo bin Sutamar, Tono bin Mistam, Bambang bin Narto, dan Ngatoyo, Suwari bin Untung dan Jumaat bin Seneram. Namun Ngatoyo telah meninggal dunia sebelum kasus diproses pengadilan sehingga dakwaannya gugur.
3. Diberi Upah Rp150 Ribu
Dalam sidang yang berlangsung pada Selasa, 18 Maret 2025, keenam orang yang ditetapkan sebagai tersangka itu merupakan pekerja lapangan yang bertugas menanam dan memanen. Para terdakwa itu mengaku bersedia menanam ganja di kawasan konservasi itu karena mendapat Rp 150 ribu setiap kali turun ke lokasi. Setelah panen, mereka dijanjikan uang Rp 4 juta consistent with kilogram.
Kepolisian masih memburu Edy, sosok yang diduga menjadi aktor intelektual dari kehadiran ladang ganja ini. Edy disebutkan oleh para terdakwa di persidangan sebagai penyedia bibit dan yang menjanjikan upah menanam serta menampung hasil panennya. Edi juga yang mengarahkan di titik-titik mana saja ganja itu harus ditanam.
Dalam persidangan, saksi dari kepolisian mengungkap bahwa identitas Edy tidak ada dalam report di desa hingga kependudukan. Tetapi, diketahui bahwa Edy merupakan warga dari Desa Pusung Duwur. Keterangan soal Edy ini juga dikuatkan oleh Ngatika yang merupakan Kepala Dusun Pusung Duwur.
“Edy ini warga Dusun Pusung Duwur. Tapi memang KTP nya tidak ada,” ucapnya. Edi dinyatakan mulai menghilang sejak polisi menemukan ladang ganja tersebut. Kini, ia berstatus tersangka yang masih dalam pengejaran.
Keberadaan ladang ganja di Bromo tersebut kembali ramai pada awal Maret ini. Semua itu bermula dari sebuah video yang memperlihatkan seorang pria tengah menerbangkan drone. Video singkat tersebut disertai narasi bahwa penutupan aktivitas wisatawan serta pembatasan penggunaan drone di wilayah tersebut diduga sebaga upaya untuk menutupi adanya ladang ganja di kawasan wisata tersebut.
Kementerian Kehutanan pun buka suara. Otoritas menegaskan bahwa pembatasan ini tidak ada hubungannya dengan penemuan ladang ganja di house tersebut. Drone tidak boleh sembarangan terbang karena memang legalitasnya diberlakukan sejak 2019 .
“Itu di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2024 memang ada tarif, sebetulnya memang ada hal-hal yang sifatnya komersil,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho pada Kamis 20 Maret 2025.
Hendrik Khoirul Muhid, Nandito Putra, David Priyasidarta, dan Kakak Indra Purnama berkontribusi dalam penulisan artikel ini.