Gusdurian hingga Muhammadiyah Terus Beri Dukungan ke Warga Rempang
TEMPO.CO, Batam – Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar serangkaian diskusi terkait konflik Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco Town, pada 27 Januari 2025. Diskusi pertama bertajuk “Kebijakan di Tanah Rempang untuk Siapa?”. Diskusi secara bold itu dihadiri oleh beberapa narasumber, termasuk salah satunya masyarakat Rempang yang terus menolak PSN Rempang Eco Town.
Koordinator Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) Ishaka atau Saka mengatakan bahwa saat ini tindakan penyerangan terhadap warga sudah mulai reda setelah Rempang tidak masuk dalam daftar PSN Presiden Prabowo Subianto. Namun, sekarang warga tetap tidak mau dipindahkan menggunakan skema transmigrasi lokal.
“Artinya upaya pemerintah mengusur warga Rempang tidak ada hentinya. Sampai kapan warga dikriminalisasi terus? Hal semacam ini yang kami pertanyakan. Kapan hak kami warga Rempang diberikan? Apakah kami dianggap sebagai anak tiri di negeri ini? Ini yang menjadi pertanyaan,” kata Saka.
Awalnya, kata Saka, pemerintah menggusur warga Rempang dengan bahasa relokasi, perpindahan, sekarang ada lagi bahasa baru yaitu, transmigrasi lokal. “Kami pun tidak tahu program ini untuk siapa. Masyarakat tidak menginginkannya. Keuntungan untuk kami tidak ada, karena akan merusak ruang hidup kami,” kata Saka.
Begitu juga yang dikatakan perwakilan warga Sembulang Hulu, Wadi. Kata Wadi, sepengetahuannya, konsep transmigrasi adalah memindahkan orang dari tempat padat penduduk ke tempat yang lebih luas. “Ini kita tenggok pak Menteri, memindahkan dari beberapa titik menjadi satu, itu kami herankan,” kata dia.
Tindakan Menteri Transmigrasi ini, kata Wadi, sama saja dengan yang dilakukan Menteri Bahlil ketika awal konflik pecah. Warga dipaksa untuk pindah dengan bahasa relokasi dan pemindahan. “Menteri apapun, kami tidak mau relokasi. Apapun itu bentuknya, kami tetap menolak,” kata Wadi.
Menanggapi itu, Alissa Wahid dari Gusdurian mengatakan bahwa pemerintah harus mendengarkan suara masyarakat warga Rempang. “Gusdurian mengingatkan cita-cita kemerdekaan mendapatkan keadilan dan kemakmuran,” kata Alissa.
Prinsip Gusdur, kata Alissa, setiap keputusan kebijakan yang diambil seorang pemimpin haruslah sepenuhnya untuk kesejahteraan hidup rakyat. “Bukan untuk meningkatkan penghasilan negara, tetapi untuk kebaikan hidup rakyat. Meningkatkan penghasilan negara untuk sejahtera rakyat, tetapi tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat di mana proyek itu ada,” kata dia.
Alissa menegaskan bahwa yang penting sekarang pemerintah harus menerima kehendakan warga Rempang. Kalau memang warga Rempang saat ini belum menginginkan dipindahkan, maka harus dihormati oleh negara.
“Dulu kami mendampingi warga Surokonto Wetan. Kami menggunakan pasal ini, bahwa tanah yang sudah diolah oleh warga, negara perlu memberikan kelengkapan hukumnya,” kata dia.
Menurut Alissa, jika konflik ini terus dipelihara, tidak hanya warga Rempang yang terdampak, tetapi juga bangsa secara utuh. “Ini bukan konflik warga Rempang saja. Ini urusan kita semua,” kata dia.
Begitu juga yang dikatakan Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam discussion board tersebut. Menurut Busro, tidak hanya mendengarkan, pemerintah juga harus menghormati aspirasi warga Rempang. Busro juga mengomentari terkait rencana Menteri Transmigrasi akan salat Idul Fitri di Rempang dan meminta maaf kepada warga.
“Apakah kunjungan menteri murni untuk bersilaturahmi untuk warga Rempang, jangan-jangan ini meluluhkan hati warga Rempang agar mau relokasi,” kata Busro.
Jika upaya penggusuran terus dilakukan pemerintah terhadap masyarakat Melayu Rempang, hal ini akan masuk pelanggaran HAM. “Kami punya kewajiban secara keagamaan, kewarganegaraan. (penggusuran ini) pembersihan etnis Melayu, ini termasuk pelanggaran HAM klaster ekonomi budaya,” kata Busro.