Suara Ibu Indonesia Khawatir Kembalinya Rezim Militer Ancam Masa Depan Anak-anak
TEMPO.CO, Jakarta – Puluhan perempuan, termasuk ibu-ibu berkumpul di kawasan Sarinah, Jakarta pada Jumat, 28 Maret 2025. Dengan membawa pelbagai poster, mereka berorasi secara damai untuk mengecam tindakan kekerasan aparat, sekaligus menuntut agar UU TNI yang sudah disahkan dicabut.
“Ketika rezim militer kembali, maka Indonesia tidak baik-baik saja,” kata Koordinator aksi Suara Ibu Indonesia, Ririn Sefsani ditemui di lokasi, Sarinah, Jakarta, Jumat.
Menurut Ririn, ada upaya dari pemerintah untuk mengembalikan dwifungsi TNI. Salah satu yang tampak ialah dengan merevisi UU TNI di tengah gelombang penolakan dari masyarakat sipil.
Ririn berujar, implikasi dari UU TNI yang baru disahkan itu membuat militer dapat merampas hak-hak masyarakat sipil. Selain itu, ia khawatir rezim militer hari ini dapat mengancam masa depan anak-anak sebagai penerus bangsa. “(Saat ini) tentara tidak hanya sebagai pertahanan keamanan, tapi merenggut ruang-ruang sipil,” ucapnya.
Ia mempertanyakan sikap pemerintah yang getol merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 itu. Sebab, bila suatu negara mengedepankan kekuatan militer, maka masa depan bangsa justru menjadi taruhannya.
Ririn mengatakan tidak ada negara maju di dunia yang memiliki militer yang kuat, bahkan di urusan sipil. Negara maju, ujarnya, justru mengalokasikan anggaran dan kekuasaannya untuk peningkatan sumber daya manusia. “Membawa TNI kembali ke dalam kekuasaan sama saja mengembalikan sejarah gelap republik ini seperti orde baru,” katanya.
Masyarakat sipil menolak UU TNI. Penolakan itu kini meluas dengan adanya rentetan aksi demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat sipil dan mahasiswa menuntut agar pemerintah mencabut pengesahan UU TNI. Publik khawatir UU TNI ini mengancam supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998.
Namun, aparat justru merespons aksi penolakan itu dengan kekerasan. Knowledge dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat dalam aksi menolak RUU TNI mengakibatkan setidaknya puluhan orang mengalami intimidasi, kekerasan, penyiksaan hingga penangkapan sewenang wenang di berbagai kota. Misalnya seperti di Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, Bekasi, Karawang maupun daerah lain seperti Kupang, dan Medan. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mendampingi 25 orang yang mengalami penangkapan sewenang-wenang.