Momentum Submit-Ramadan: Revolusi Akhlak Generasi Z
INFO NASIONAL – Menurut Pew Research Center, generasi Z merupakan manusia kelahiran 1997-2012 atau generasi peralihan dari generasi Y (milenial). Lahir dan tumbuh di tengah perkembangan digital, generasi Z dianggap sebagai generasi digital native pertama yang hidup sebagai konsumen sekaligus produsen konten digital lebih banyak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Hal tersebut membawa perubahan drastis yang lebih cepat pada komunikasi interpersonal generasi Z.
Mengonsumsi tayangan digital di media sosial melebihi dosis yang wajar ditambah dengan proliferasi kemajuan internet menimbulkan epidemi baru di abad 21 yang menimpa generasi Z. Hou dan rekan-rekannya di Tiongkok dan Amerika Serikat melakukan sebuah studi dampak adiksi media sosial terhadap kesehatan mental pada 250 populasi mahasiswa di Peking University, Tiongkok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut tim peneliti tersebut, adiksi penggunaan media sosial berkorelasi negatif terhadap masalah kesehatan mental yang terjadi pada sekelompok mahasiswa. Artinya, semakin tinggi tingkat adiksi penggunaan media sosial, maka tingkat kesehatan mental semakin menurun.
Implikasi masalah kesehatan mental yang terjadi pada generasi Z tidak hanya mengarah pada performa akademis, kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi, namun dampak kolektif yang ditimbulkan dapat berupa dekadensi moral yang derivatnya meliputi ujaran kebencian hingga provokasi, sara, perundungan digital, kebiasaan prokrastinasi, pelecehan seksual, pornografi, prostitusi online, judi online, dan lain sebagainya.
Karol Lewczuk dan rekan, dalam studinya – Frequency of use, moral incongruence and religiosity and their relationships with self-perceived addiction to pornography, internet use, social networking and online gaming menyebut bahwa perilaku candu seperti pornografi, penggunaan internet, dan game online berimplikasi pada konflik moral lebih menantang daripada kecanduan yang disebabkan oleh gangguan penggunaan zat-zat terlarang. Maka dari itu, aturan moral, sosial, dan agama dapat digunakan sebagai indikator masalah moral.
Agama memegang peranan kunci untuk mengeradikasi penyakit dekadensi moral. Nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran agama seyogyanya dapat merancang seorang manusia menjadi satu pribadi utuh sebagai manusia berakhlak. Mirza Ghulam Ahmad, dalam bukunya Filsafat Ajaran Islam, menuturkan bahwa perjalanan manusia menjadi makhluk berakhlak seutuhnya dapat dicapai melalui tiga keadaan, yakni nafs ammarah, nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah.
Generasi Z merupakan peralihan dari generasi Y (milenial) yang lahir dan tumbuh di tengah perkembangan digital. Generasi Z dianggap sebagai generasi digital native pertama yang hidup sebagai konsumen sekaligus produsen konten digital lebih banyak dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Dok. Ahmadiyah
Pada keadaan pertama atau nafs ammarah, manusia selalu terdorong dalam keburukan yang bertentangan dengan kesempurnaannya. Keadaan ini juga disebut sebagai thabi’i (alami) yang tidak membedakan antara manusia dengan hewan. Makan, minum, tidur, berkembang biak, dan emosi negatif, adalah keadaan dasar manusia sebelum dibekali pikiran rasional yang membawa manusia menjadi makhluk yang berpikir. Secara alami hal ini dapat dijelaskan secara sains di mana emosi negatif dapat timbul dari aktivasi bagian otak di lobus temporal bernama amigdala. Maka dari itu, segala dorongan nafsu manusia pun terjadi di tahap ini. Hal tersebut sejalan dengan firman Tuhan dalam Al Quran surah Yusuf ayat 54 yang artinya “… Sesungguhnya nafsu itu senantiasa menyuruh kepada kejahatan.”
Nafs lawwamah merupakan keadaan kedua manusia yang bermakna sebagai jiwa yang selalu menyesali diri sendiri. Firman Tuhan dalam Al Quran surah Al-Qiyyamah ayat 3 yang artinya, “Dan Aku bersumpah demi jiwa yang mencela dirinya sendiri” telah menjadi suatu hukum bahwa di dalam diri manusia terdapat perasaan bersalah atas tindakan amoral yang telah dilakukan. Hal ini mampu membawa manusia melepas keadaan hewani menuju keadaan yang lebih berakhlak.
Kemudian, tahap ketiga dalam tahapan manusia mencapai keadaan berakhlak yaitu Nafs muthmainnah, yakni jiwa yang tenteram, sebagaimana dikatakan dalam Al Quran surah Al-Fajr ayat 28 yang artinya, “Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya, dan Dia pun ridha kepada engkau. Maka masuklah di antara hamba-hamba-Ku yang terpilih, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Di tahap ini, seorang manusia telah menjadi hamba Tuhan yang dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan rohaniah, sehingga ia secara lahir dan batin telah membersihkan dirinya dari segala macam tindakan amoral. Artinya, pengejawantahan nilai-nilai agama telah paripurna dimanifestasikan dalam diri seorang manusia.
Ia mendapat cap sebagai makhluk dengan taraf berakhlak. Jika kekuatan rohani dalam diri manusia bersinergi dengan keyakinan seutuhnya terhadap Tuhan, niscaya manusia bebas terjerumus dari dorongan hawa nafsu yang membawa pada jurang kebobrokan akhlak.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memberikan kesempatan istimewa kepada hamba-hamba-Nya dalam bulan Ramadan untuk meraih kebaikan sebanyak-banyaknya. Puasa adalah salah satu ibadah penting yang telah ditetapkan Tuhan untuk dilakukan oleh para hamba-Nya dengan tujuan menjadikan manusia sebagai orang bertakwa.
Takwa adalah keadaan nafs muthmainnah di mana manusia dipastikan tidak melakukan tindakan amoral yang dapat mengancam kerusakan akhlak. Puasa dan takwa merupakan dua variabel yang berkorelasi positif. Maka dari itu, jika orang menjalankan ibadah puasa sesuai dengan hakikatnya, maka grafik ketakwaan pun akan meningkat di mata Tuhan.
Puasa merupakan pasal ke-3 rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Islam pada bulan Ramadan, meskipun ada ibadah puasa lain pada waktu tertentu yang hukumnya sunnah. Praktik ibadah ini bermakna memutuskan diri dari segala macam corak hawa nafsu, baik nafsu makan dan minum, nafsu syahwat, dan dorongan nafsu duniawi lainnya sampai batas waktu tertentu.
Puasa di bulan Ramadan juga menuntut manusia untuk berbuat kebaikan, memusatkan perhatian kepada Tuhan, dan mengendalikan diri dari keburukan. Tuhan dalam firman-Nya mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelummu, supaya kamu bertakwa.” (QS Al Baqarah ayat 184).
Secara etimologi, Ramadan berasal dari kata bahasa Arab “ramada” yang berarti “panas yang menyengat” atau “panas yang membakar”. Berpuasa di momentum Ramadan membawa makna harfiah dan konotasi, yaitu sensasi lapar dan haus yang panas membakar dahaga serta terbakarnya dosa-dosa karena puasa menimbulkan kehangatan cinta kepada Tuhan dan sesama manusia.
Jika mempelajari makna puasa secara mendalam, maka puasa dapat menjadi obat untuk memelihara manusia dari perbuatan buruk yang berdampak pada timbulnya permasalahan-permasalahan sosial. Selain itu, dengan berpuasa, manusia dapat mencapai taraf nafs lawwamah, yaitu keadaan tertinggi manusia dalam mencapai ketenteraman jiwa yang sejati.
Bulan Ramadan merupakan bulan pelatihan layaknya sebuah training camp rohani, manusia dilatih untuk menjadi makhluk Tuhan yang berakhlak. Demikian halnya dengan peserta training camp rohani dari kalangan generasi Z. mereka merupakan generasi harapan bangsa yang akan menjalankan roda nasib negeri ini di masa depan. Jika implementasi puasa di bulan Ramadan ini dapat dioptimalisasi oleh generasi Z, maka prevalensi kejadian penyakit moral dapat terkendali.
Implikasi dari manifestasi puasa Ramadan secara menyeluruh oleh generasi Z, yakni mereka dibekali karakter seperti kesederhanaan, kedermawanan, kejujuran, dan memiliki komitmen untuk menjadikan bangsa ini lebih baik dari hari ini.
Sejatinya dampak dari puasa yang telah dijalankan secara penuh di bulan Ramadan membawa generasi Z menjadi generasi yang berakhlak, sehingga setelah menjalani pelatihan ruhani selama 30 hari Ramadan tersebut, generasi Z siap menjadi manusia-manusia berkualitas dengan bekal akhlak yang sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Dengan kata lain, generasi ini selayaknya mampu menjadi agen perubahan di tengah gempuran ancaman pengaruh buruk digital yang berdampak buruk pada kelangsungan ekosistem moral.
Dengan demikian, para pendahulu bangsa ini dapat menyerahkan tongkat estafet nasib bangsa ini kepada generasi emas, bukan generasi cemas.(*)
Umar Farooq Zafrullah, S.Pd., M.Biomed | Intelektual muda Ahmadiyah, dosen tidak tetap Fakultas Kedokteran, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.