Logo

Alasan Masyarakat Sipil Minta Polisi Hentikan Kasus Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi


BADAN Reserse Kriminal Polri menangguhkan penahanan mahasiswa ITB yang mengunggah meme Prabowo-Jokowi pada Ahad, 11 Mei 2025. Perempuan berinisial SSS itu sempat ditahan di rumah tahanan Bareskrim sejak Rabu, 7 Mei 2025.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan penangguhan penahanan SSS itu dilakukan berdasarkan permohonan dari tersangka, orang tua, kuasa hukumnya, serta kampus ITB.

Menurut dia, tersangka menyesal dan memiliki iktikad baik untuk tidak mengulangi tindakan serupa. “Tersangka dan keluarga juga menyampaikan permohonan maaf kepada Bapak Prabowo dan Jokowi,” kata Trunoyudo di Gedung Bareskrim.

Polisi menangkap mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu pada Selasa, 6 Mei 2025, karena diduga mengunggah meme Prabowo-Jokowi sedang berciuman. Meme itu dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan atau synthetic intelligence (AI). 

Bareskrim Polri telah menetapkan SSS sebagai tersangka dan menjeratnya dengan Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

Organisasi masyarakat sipil hingga ahli hukum pidana meminta Polri tidak hanya menangguhkan penahanan tersangka, tetapi juga menghentikan penanganan kasus tersebut.

Amnesty: Penangguhan Penahanan Mengandung Pesan dan Kesan Perbuatan SSS Salah secara Hukum

Ketua Amnesty World Indonesia Usman Hamid menuntut polisi menghentikan penyelidikan terhadap kasus SSS. Usman menilai penangguhan penahanan mahasiswa ITB itu tetap keliru.

“Penangguhan itu jelas masih mengandung pesan dan kesan bahwa perbuatan mahasiswi ITB tersebut salah secara hukum, namun karena memicu kontroversi maka proses hukumnya ditangguhkan,” ujar Usman saat dihubungi pada Senin, 12 Mei 2025.

Usman meyakini kritik lewat meme itu bukan merupakan tindak pidana. Sehingga penangkapan SSS juga tak berlandaskan hukum. Menurut dia, tindakan yang harus dilakukan oleh polisi adalah membebaskan mahasiswa ITB itu tanpa syarat apa pun. Pembebasan itu pun, kata Usman, harus dilakukan atas dasar tidak ada tindakan kriminal yang ditemukan dalam aktivitas virtual SSS yang dijadikan bukti penahanan.

YLBHI: Ada Tindakan Semena-mena dari Bareskrim Polri

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan Polri seharusnya menyudahi penyelidikan kasus tersebut. “Kami mendesak polisi menghentikan. Segera bikin SP3 alih-alih hanya penangguhan penahanan,” ujar Isnur saat dihubungi pada Senin, 12 Mei 2025.

Isnur menuturkan penahanan SSS adalah bentuk kriminalisasi terhadap orang yang menyampaikan kritik yang dijerat dengan pasal karet UU ITE. Menurut dia, meme yang menggambarkan Prabowo-Jokowi berciuman tidak memenuhi unsur kesusilaan yang ditetapkan, yaitu hubungan seksual, ketelanjangan, hingga menunjukkan alat kelamin. “Dalam konteks kritik, gambar ciuman antarkepala negara itu sangat banyak dilakukan oleh banyak aktivis di dunia,” ucapnya.

Dia juga menilai polisi tidak bisa serta merta mengenakan pasal pencemaran nama untuk menjerat kritik yang dibuat dengan kecerdasan buatan itu. Sebab, kata Isnur, Mahkamah Konstitusi (MK) sangat membatasi penggunaan pasal tersebut agar pemerintah atau korporasi tidak semena-mena melakukan kriminalisasi. 

Alasan lain desakan penghentian kasus itu adalah polisi dinilai tidak menggunakan pendekatan yang diatur di Surat Keputusan Bersama UU ITE yang disetujui oleh Polri, Kejaksaan Agung, serta Kementerian Komunikasi dan Virtual.

“Tidak ada pemanggilan, tidak ada klarifikasi, langsung penangkapan dan penahanan. Jelas di sini kita melihat ada tindakan yang berlebihan, tindakan yang semena-mena dari Bareskrim Polri,” kata Isnur. Padahal seharusnya, menurut Isnur, penggunaan UU ITE sebagai dasar pidana merupakan alternatif terakhir. 

Sebelumnya, pada Sabtu, 10 Mei 2025, Isnur mengatakan penangkapan SSS telah menyalahi aturan karena lembaga negara atau pejabat publik bukanlah entitas yang reputasinya dilindungi oleh UU ITE. Pasal tentang penghinaan, kata dia, sudah dikeluarkan dari UU seiring dengan putusan MK yang menyatakan keributan di media sosial bukan tindak pidana.

Melalui putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa, 29 April 2025, MK menyatakan tindakan menyebarkan berita bohong atau hoaks menggunakan sarana teknologi informasi dapat dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang virtual atau siber. Itu adalah penjelasan MK atas makna kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

Akademikus Sebut Pengenaan Pasal Kesusilaan UU ITE Tak Memiliki Alasan Memadai

Adapun dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, meyakini penangguhan penahanan terhadap SSS tidak tepat. “Harus dibebaskan tanpa syarat. Prosedurnya bisa melalui SP3,” katanya saat dihubungi pada Senin.

Herdiansyah meyakini penahanan SSS yang dijerat dengan pasal kesusilaan UU ITE itu tidak memiliki alasan memadai. Dia juga mendorong penegak hukum melihat meme Prabowo-Jokowi berciuman itu sebagai karya seni.

Mengingat SSS merupakan mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Herdiansyah mendesak polisi menelisik intensi yang dimaksud SSS, alih-alih mengenakan pasal kesusilaan yang dinilai melanggar UU ITE. 

“Ciuman Jokowi dan Prabowo dalam konteks karya seni adalah buah dari kebebasan berekspresi dan niatnya memberikan pesan kepada publik bahwa ada keintiman yang berlebih dan tidak wajar,” ucapnya memberi analisis.

Hammam Izzuddin dan Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Mengapa Kejaksaan Meminta Pengamanan kepada TNI, Bukan Polri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *