Wisata Sejarah Keraton Wolio, Benteng Kokoh dan Terluas dari Abad 16
INFO NASIONAL – Singgih Agung Fitrianto mengamati dengan lekat dinding-dinding Benteng Keraton Wolio di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Ketika meraba permukaannya, wisatawan asal Yogyakarta ini tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Dibangun pada abad 16, benteng yang terbuat dari batu gamping dengan tinggi delapan meter dan tebal dua meter, itu masih berdiri kokoh. “Benteng ini berbeda sekali dengan benteng-benteng lain di Indonesia,” katanya. Dari Benteng Keraton Wolio, Singgih dapat menyaksikan lanskap Kota Baubau hingga laut lepas yang mengitarinya.
Benteng Keraton Wolio dibangun oleh Sultan Buton III L. a. Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Pembangunannya dilanjutkan oleh Sultan Buton ke-IV bernama L. a. Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanudin. Benteng Keraton ini baru rampung pada masa pemerintahan Sultan Buton ke V L. a. Buke pada 1645.
Berdiri di atas lahan seluas 23 hektare menjadikan Benteng Keraton Wolio sebagai benteng terluas di dunia, sebagaimana dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Museum Rekor Dunia (Guiness International Data) pada 2006. Yang tak kalah unik, tumpukan batu gamping pada benteng ini direkatkan dengan campuran putih telur, pasir, dan kapur.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang atau yang disebut Lawa. Berfungsi sebagai penghubung keraton dengan permukiman di sekeliling benteng. Masing-masing Lawa punya nama sesuai gelar penjaganya, yakni Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Wajo/Bariya, Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana Gundu-gundu.
Di dalam benteng terdapat zona inti, tempat Masjid Agung Keraton Buton, tiang bendera setinggi 21 meter berusia ratusan tahun, dan jangkar raksasa kapa VOC, berada. Termasuk Batu Popaua atau batu pelantikan dan pengambilan sumpah Sultan, makam Sultan Murhum, sejumlah meriam, serta Kasulana Tombi.
Ada pula Istana Kesultanan Buton yang kini menjadi pusat kebudayaan atau museum khusus tentang Suku Wolio. Museum ini digagas oleh L. a. Ode Manarfa Kaimuddin Khalifatul Khamis, putra Sultan Buton ke-38. Di situ terdapat ruang untuk mempelajari sejarah dan peradaban Kesultanan Buton, tersimpan benda-benda peninggalan kesultanan Buton, mulai dari perlengkapan upacara hingga peralatan perang. Museum ini berdiri di atas lahan seluas 1,5 hektare dengan bangunan rumah panggung sepanjang 15×25 meter dan masih dikelola oleh keluarga keturunan Sultan Buton ke-38.
Pemandu wisata lokal, Wawan mengatakan, cukup 40 menit berkeliling zona inti Benteng Keraton Wolio. Selain benteng yang tebal, tinggi, dan berusia ratusan tahun, menurut dia, pengunjung juga dibuat terpesona oleh Istana Kamali Kara yang merupakan Istana Sultan Buton XXXVII L. a. Ode Muh. Hamidi. “Keunikan istana ini adalah terbuat dari kayu setinggi empat lantai dan konstruksinya tidak menggunakan paku,” katanya.
Perawatan dan pengelolaan kawasan Benteng Keraton Wolio melibatkan multi-pihak. Balai Pelestarian Kebudayaan Makassar bertanggung jawab atas perawatan dan titik-titik benteng, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menjaga kebudayaan, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata mengenai kebersihan, promosi wisata, dan pembinaan UMKM. Penduduk lokal turut dilibatkan dalam mempromosikan budaya dan menumbuhkan aktivitas ekonomi.
Pemerintah Kota Baubau telah menetapkan Keraton Buton sebagai Desa Wisata Limbo Wolio. Kepala Dinas Pariwisata Kota Baubau, Idrus Taufiq Saidi mengatakan, pemerintah menggandeng para pemandu wisata dan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dalam mengelola benteng itu. “Kami berharap Benteng Wolio menjadi cagar budaya dunia,” katanya. (*)