Eks Menteri Agama Lukman Hakim Usul Visa Haji Furoda Dihapus
TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengusulkan agar visa Haji Furoda dihapus dari opsi jalur khusus ibadah rukun kelima umat Islam itu. Lukman menilai jalur haji itu menimbulkan masalah berlarut-larut yaitu tidak terbitnya visa haji.
Misalnya pada tahun ini, ribuan calon jemaah Indonesia gagal berangkat ke Tanah Suci karena pemerintah Arab Saudi tak mengeluarkan visa haji furoda. Sebagai jalur haji nonkuota Kementerian Agama, Lukman menyatakan pemerintah Indonesia tidak bertanggung jawab atas permasalahan itu.
“Penerbitan visa furoda itu penuh ketidakpastian. Transaksi jual beli paket berhaji dengan visa tersebut dalam kacamata hukum Islam bisa dikategorikan ‘gharar‘, suatu transaksi yang mengandung unsur spekulasi karena ketidakpastian,” ujar Lukman dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Padahal, menurut Lukman, visa mujamalah yang dikelola oleh pemerintah Arab Saudi memiliki skema berbeda dengan visa furoda yang saat ini ditawarkan oleh PIHK. Perbedaan itu, kata Lukman, terletak pada transparansi pengelolaan haji. Ia berujar visa mujamalah sesungguhnya berasal dari undangan resmi pemerintah Arab Saudi yang disertai pemberian fasilitas haji.
Sementara visa haji furoda yang beredar di pasaran tak diketahui sumber pengundangnya, kendati berjalan di atas perjanjian bisnis antara Penyelenggara Ibadah Haji Khusus dan pemerintah Arab. Sehingga Lukman menyoroti sulitnya mengurai kekisruhan visa haji furoda karena ketidakjelasan siapa pihak yang harus bertanggung jawab.
Atas dasar itu, Lukman kemudian membeberkan risiko yang timbul akibat polemik visa haji furoda. “Ketika visa jenis ini tak kunjung terbit hingga jelang wukuf, terjadilah saling lempar kesalahan dan tanggung jawab antara calon jemaah haji, Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK), pemerintah Indonesia, dan Pemerintah Arab Saudi,” ujarnya.
Ia khawatir masalah ini akan mengancam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi. Alasannya ialah, ketiadaan transparansi penerbitan visa furoda dan tata cara mendapatkannya akan terus menimbulkan fitnah bagi kedua negara serta masyarakat di dalamnya. Lukman mengatakan hal tersebut harus dihindari.
Sehingga ia mengusulkan agar pemerintah Arab membatasi izin penggunaan visa haji nonkuota lewat visa mujamalah yang dikeluarkan oleh pejabat setempat. Dengan kata lain, Lukman mendorong agar ibadah haji hanya dilaksanakan dengan visa kuota Kementerian Agama (reguler) dan visa nonkuota yang resmi dari pemerintah Arab. “Adapun visa furoda yang rawan ‘diperdagangkan’ itu ditiadakan saja” ujarnya.
Kementerian Agama (Kemenag) mencatat lebih dari 1.000 jemaah furoda tahun ini batal berangkat karena visanya tak kunjung terbit. Ketua Komisi Nasional atau Komnas Haji, Mustolih Siradj, menegaskan bahwa visa haji furoda merupakan tanggung jawab penuh pihak go back and forth atau agen perjalanan, bukan pemerintah.
“Penggunaan haji furoda menjadi urusan bisnis murni antara go back and forth dengan jemaahnya,” ujar Mustolih dalam keterangan tertulis, Jumat, 30 Mei 2025. Pernyataan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, di mana pemerintah Indonesia hanya bertanggung jawab atas visa haji yang berasal dari kuota resmi Kerajaan Arab Saudi.
Haji furoda merupakan program ibadah yang dilakukan di luar kuota resmi yang ditetapkan bagi Indonesia. Jalur ini menggunakan visa mujamalah atau undangan khusus langsung dari pemerintah Arab Saudi. Prosesnya umumnya diatur oleh biro perjalanan atau Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan tidak melibatkan pemerintah Indonesia. Karena itu, tanggung jawab keberangkatan dan pengurusan visa menjadi urusan antara jemaah dan agen go back and forth.
Menanggapi polemik visa haji furoda tersebut, anggota Tim Pengawas Haji DPR Abdul Fikri Faqih meminta Kemenag tidak lepas tangan dalam menyelesaikan sengkarut polemik haji furoda pada penyelenggaraan ibadah haji 2025.
Dia mengatakan, meski penyelenggaraan haji furoda merupakan urusan antara biro perjalanan dan otoritas Arab Saudi, pemerintah harus tetap memposisikan diri dalam membantu menuntaskan polemik.
“Negara tetap memiliki kewajiban untuk hadir dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi para jemaah,” kata Fikri dalam keterangan tertulis pada Senin, 2 Juni 2025.