Logo

Mengapa Tambang di Raja Ampat Dianggap Melanggar Undang-Undang dan Putusan MK


TEMPO.CO, Jakarta – Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari mengatakan izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, melanggar undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Logo

Feri menjelaskan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah menegaskan larangan aktivitas tambang di pulau kecil. Pasal 23 ayat (2) beleid ini menyatakan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan, di antaranya konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri
perikanan secara lestari; pertanian organik dan peternakan; dan pertahanan dan keamanan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun di luar tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian, sistem tata air setempat, dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

“Sebutkan di mana urusan yang berkaitan dengan pertambangan berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu tidak boleh, menurut saya, aktivitas apapun yang bertentangan dengan undang-undang, terjadi,” kata Feri kepada Tempo, Sabtu, 7 Juni 2025.

Feri mengatakan undang-undang tersebut juga dengan gamblang menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Sementara Pulau Gag, salah satu dari gugus pulau Raja Ampat yang ditambang, memiliki luas 6 ribu hektare yang setara 60 km2. 

“Jadi sudah pasti termasuk pulau-pulau kecil sehingga berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tadi, maka tidak boleh dilakukan aktivitas pertambangan,” ucap Feri. 

Pertambangan di pulau kecil juga sudah dilarang lewat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023. Lewat putusan ini, Mahkamah Konstitusi menguatkan larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil. 

Mantan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini juga mengatakan pertambangan di Raja Ampat melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Menurut dia, Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan menjaga keseimbangan kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional. 

Faktanya, kata Feri, pertambangan di Raja Ampat tidak berwawasan lingkungan dan hanya untuk kepentingan produksi nikel dengan mengorbankan kelestarian lingkungan. 

Dengan peraturan di atas, Feri mengatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia tidak bisa menghindar dari tanggung jawab. Ia mengatakan pemerintah seharusnya menghentikan permanen aktivitas tambang di sana, bukan hanya penghentian sementara. Sebab sudah jelas pelanggaran hukumnya. 

Apalagi, ujar Feri, Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 secara tegas menyatakan bahwa menteri berwenang menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil apabila menimbulkan dampak penting terhadap perubahan lingkungan.

“Kenapa kemudian harus dihentikan sementara?” tanya Feri. “Jadi menurut saya tidak ada alasan lagi, tidak lagi dibangun argumentasi dihentikan sementara.”

Sementara itu dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiandyah Hamzah, mengatakan terbitnya izin pertambangan di Raja Ampat, yang jelas secara eksplisit dilarang undang-undang, mengindikasikan adanya korupsi. 

“Sudah jelas ada undang-undang dan putusan MK, tetapi izin pertambangan tetap keluar. Itu artinya ada kongkalikong antara otoritas pemberi izin, dalam hal ini pemerintah, dengan perusahaan tambang,” kata Herdiansyah kepada Tempo

Herdiansyah mengatakan terbongkarnya tambang di Raja Ampat bisa menjadi penelusuran awal aparat penegak hukum bahwa jelas ada tindakan korupsi di dalamnya. Sebab mustahil izin tambang bisa terbit dengan melanggar hukum dan jelas ada dampak kerugian negara. 

“Indikasi korupsi bisa jadi ada di sana kan, dalam bentuk gratifikasi, suap dan lain sebagainya. Itu juga mesti dipertimbangkan,” ucapnya.

Sebelumnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan izin usaha pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, diterbitkan sebelum dia menjabat sebagai menteri. Pernyataan Bahlil itu merespons keputusan untuk menghentikan sementara aktivitas produksi PT GAG Nikel yang menjadi sorotan publik belakangan ini.

“Perlu saya tegaskan, saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih menjadi Ketua Umum HIPMI dan belum masuk kabinet,” ujar Bahlil dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 6 Juni 2025.

Bahlil mengatakan PT GAG Nikel merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya Generasi VII Nomor B53/Pres/I/1998. Kontrak ini ditandatangani sejak 19 Januari 1998 oleh presiden saat itu. 

Bahlil juga membantah pertambangan nikel merusak Raja Ampat. Ia menegaskan bahwa operasi pertambangan tidak dilakukan di Pulau Piaynemo, yang terkenal dengan pemandangan bukit karst dan terumbu karang, melainkan di Pulau Gag yang terpisah jarak sekitar 30 hingga 40 kilometer.

“Banyak media menyebutkan penambangan dilakukan di Pulau Piaynemo. Itu tidak benar. Lokasinya ada di Pulau Gag yang jaraknya cukup jauh dari Piaynemo. Saya tahu karena saya cukup sering ke Raja Ampat,” kata Bahlil.

Bahli hanya menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel oleh perusahaan tersebut. Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025. Langkah ini diambil usai penolakan kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat oleh aktivis lingkungan dan aliansi masyarakat sipil karena dianggap mengancam ekosistem.

“Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek,” kata Bahlil

PT Gag Nikel merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk, salah satu badan usaha milik negara (BUMN). Bahlil mengatakan, IUP produksi perusahaan tersebut untuk menambang nikel di Raja Ampat terbit pada 2017 dan mulai beroperasi setahun setelahnya. “Sebelum beroperasi kan ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Amdal ini sudah ada,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Awalnya, perusahaan ini dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. Dengan penguasaan saham 75 persen dan PT Aneka Tambang (ANTAM) sebesar 25 persen. Namun sejak 2008, PT ANTAM mengakuisisi seluruh saham APN Pty. Ltd. dan kini menguasai penuh PT GAG Nikel.

Sebelumnya, penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat disuarakan Greenpeace Indonesia dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Selasa, 3 Juni 2025. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia Kiki Taufik mengatakan wilayah Raja Ampat akan rusak bila aktivitas tambang terus dibiarkan. Ia berujar, dampak merusak akibat industri nikel sudah terjadi di sejumlah daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Kini, aktivitas serupa mulai menjalar ke Raja Ampat. 

“Saat ini sudah ada lima pulau yang mulai dieksploitasi. Padahal wilayah ini adalah kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler. Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak,” ujarnya.

Penelusuran Greenpeace tahun lalu menemukan adanya aktivitas tambang di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiganya termasuk kategori pulau kecil yang semestinya tidak boleh ditambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Nandito Putra dan Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *