Amnesty Minta Dedi Mulyadi Cabut Aturan Jam Malam Pelajar
TEMPO.CO, Jakarta – Amnesty International Indonesia mendesak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mencabut aturan jam malam bagi pelajar. Direktur Eksekutif Amnesty Global Indonesia Usman Hamid mengatakan kebijakan Dedi Mulyadi itu bertentangan dengan konstitusi yang menjamin hak anak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dan praktik-praktik yang melanggar hak asasi manusia atau HAM.
“Pembatasan mobilitas anak-anak melalui jam malam bukanlah bentuk perlindungan, melainkan bentuk pengawasan represif yang membatasi ruang hidup dan pertumbuhan sosial anak-anak di ruang publik,” kata Usman dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad, 8 Juni 2025.
Ia menjelaskan bahwa konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara atas kehidupan dan kebebasan pribadi serta kebebasan bergerak, termasuk bagi anak-anak. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Usman mengatakan, pendisiplinan anak bukan alasan yang sah secara hukum untuk memberlakukan aturan yang membatasi hak kebebasan pribadi mereka.
Lebih jauh, dia berpendapat pemberlakuan jam malam hanya bagi pelajar sebagai bentuk diskriminasi terhadap anak. “Penerapan jam malam terhadap anak-anak, namun tidak terhadap kelompok usia lain, menunjukkan perlakuan yang tidak setara,” ujar Usman. Selain itu, ia melanjutkan, kebijakan jam malam juga menciptakan stigma negatif bagi anak-anak yang berada di luar rumah pada malam hari.
Menurut Usman, Pemerintah Provinsi Jawa Barat semestinya menggunakan pendekatan lain dalam rangka mendisiplinkan anak. Contohnya dengan conversation dan peningkatan kesadaran. “Ketimbang menerapkan jam malam sebagai solusi, pendekatan berbasis partisipasi anak, pendidikan hak asasi manusia, serta penguatan komunitas lokal jauh lebih bermakna dan efektif,” tutur Usman.
Upaya mendisiplinkan dan melindungi pelajar, kata dia, seharusnya dilakukan tanpa melanggar hak mereka. Usman menegaskan bahwa pemerintah perlu menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak, termasuk di malam hari. “Bukan dengan menutup ruang gerak mereka dengan aturan otoriter yang melanggar HAM,” ujar dia.
Oleh karena itu, Amnesty Global meminta Pemprov Jawa Barat untuk mencabut kebijakan jam malam bagi pelajar. Usman mendesak pemerintah untuk menggantikan kebijakan itu dengan pendekatan yang lebih adil, partisipatif, dan menghormati hak-hak anak sebagai subjek hukum yang setara. “Pemerintah Jawa Barat harus melibatkan dan mendengarkan aspirasi anak dalam membuat kebijakan terkait perlindungan anak di masyarakat,” kata Usman.
Melalui Surat Edaran Nomor: 51/PA.03/DISDIK yang ditandatangani secara elektronik oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi pada 23 Mei 2025, Pemprov Jabar menerapkan sistem jam malam bagi pelajar di wilayah tersebut. Pembatasan aktivitas pelajar di malam hari di luar rumah pada pukul 21.00 sampai 04.00 WIB menjadi poin utama kebijakan ini.
Pengecualian bagi peserta didik yang mengikuti kegiatan sekolah atau lembaga pendidikan resmi, atau kegiatan keagamaan dan sosial di lingkungan tempat tinggal dengan sepengetahuan orang tua atau wali. Kemudian juga peserta didik yang berada di luar rumah bersama orang tua atau wali, dan kondisi lainnya sepengetahuan orang tua atau wali, serta dalam kondisi darurat atau bencana.
Kebijakan yang turun langsung dari Pemprov Jabar ini meminta seluruh bupati dan wali kota agar mengoordinasikan pejabat-pejabat daerah lainnya untuk melaksanakan aturan itu. Pelaksanaan jam malam juga didukung oleh TNI dan Kepolisian Indonesia lewat nota kesepahaman yang ditandatangani Pemprov Jabar dengan lembaga negara tersebut.