Penggunaan AI di Pemilihan Umum Perlu Diatur Undang-undang
TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah pengamat berpandangan penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam pemilihan umum (pemilu) perlu segera diatur melalui undang-undang. Menurut mereka, teknologi seperti AI memiliki ancaman dan sisi negatif sehingga perlu diatur dengan baik.
Peneliti Senior Populi Middle, Usep Saepul Ahyar, mengatakan perlu ada inovasi pikiran serta perbaikan struktur dan aktor dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Menurutnya, teknologi dalam pemilu bukan hanya bisa dikaji dari sisi biaya. “Kultur, struktur, dan regulasi benar-benar harus diperbaiki, karena dari teknologi juga banyak isunya.” kata Usep dalam diskusi Discussion board Populi pada Rabu, 11 Juni 2025 di Jakarta.
Direktur Eksekutif Populi Middle, Afrimadona, mengatakan teknologi menciptakan efisiensi dari segi proses hingga pendanaan. Namun, ia juga menekankan perlu ada aturan soal ini.
Menurut dia, teknologi bisa “menetralisir” apa yang ia sebut sebagai sisi negatif dari demokrasi. “Teknologi ini bisa diaudit, walau dikatakan akan ada bias algoritma, namun hal ini tetap bisa dicek,” kata dia dalam diskusi yang sama.
Masih banyak “pekerjaan rumah” yang perlu dibahas dalam RUU Pemilu yang sedang disusun, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Beberapa hal itu termasuk sistem, aktor, penegak hukum, termasuk juga teknologi.
Khoirunnisa berharap proses pembahasan itu bisa selesai pada 2026, agar penyelenggara dan peserta Pemilu 2029 mendatang dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang baru. Sayangnya, kata dia, proses masih berjalan di tempat sejak setengah tahun RUU Pemilu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025.
Ia mengatakan teknologi perlu diatur sebagai upaya mendapatkan kepercayaan masyarakat kepada proses pemilu. “Hal ini perlu dipersiapkan dengan maksimal termasuk dengan kerangka hukum, SDM (sumber daya alam), dan mempertimbangkan aspek politik dari pengembang teknologi ini,” ujarnya.
Yose Rizal, Founder Pemilu AI, berpendapat teknologi dapat menopang proses pemilu yang efektif dan efisien, mulai dari biaya kampanye, pengawasan terhadap kecurangan, dan aspek lainnya.
Menurut dia, AI memiliki potensi besar, dengan kemampuan mengolah jutaan knowledge dengan cepat. Selain itu, kata dia, AI juga dapat membantu dengan simulasi kampanye pemilu. “Ancamannya memang ada, tapi jangan sampai kita justru hanya dapat ancamannya tapi tidak dapat manfaatnya,” kata Yose.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan bahwa peserta pemilu dilarang menggunakan foto atau gambar yang direkayasa atau dimanipulasi secara berlebihan oleh AI.
Amar putusan tersebut tercantum dalam perkara nomor 166/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP). “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan, Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam permohonan ini TAPP melakukan judicial overview terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun MK hanya mengabulkan sebagian permohonan, yaitu pada Pasal 1 angka 35.
Dalam pasal itu tertulis: “Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.”
MK mengabulkan sebagian gugatan TAPP menyangkut frasa “citra diri” dalam pasal itu. “Menyatakan frasa ‘citra diri’ yang berkaitan dengan foto/gambar dalam Pasal 1 angka 35 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945,” kata Suhartoyo.
MK menyatakan frasa “citra diri” dalam pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “berupa nomor urut, foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara terbaru pasangan calon, calon anggota DPRD, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tanpa manipulasi virtual dan/atau teknologi AI, atau setidak-tidaknya mewajibkan peserta pemilu mencantumkan keterangan yang dapat dibaca dengan jelas bahwa nomor urut, foto/gambar, suara, gabungan foto/gambar dan suara yang dipergunakan merupakan hasil manipulasi virtual dan/atau teknologi AI.”
M Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.