Logo

Kontroversi Rencana TNI AD Rekrut 24 Ribu Tamtama untuk Batalion Baru


TENTARA Nasional Indonesia Angkatan Darat atau TNI AD berencana merekrut 24 ribu tamtama. Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana pada Rabu, 4 Juni 2025, mengatakan para calon tamtama tersebut bukan disiapkan menjadi pasukan tempur, melainkan pasukan ketahanan pangan hingga pelayan kesehatan dalam batalion teritorial pembangunan (BTP).

Awalnya, wacana pembentukan batalion itu digulirkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dalam rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 November 2024. Sjafrie mengatakan ide itu adalah gagasan Presiden Prabowo Subianto.

Sjafrie menyebutkan Presiden menetapkan strategi nasional agar setiap kabupaten, yang jumlahnya saat ini ada 514, dapat dijaga oleh satu batalion infanteri teritorial pembangunan. Batalion ini diperkuat oleh dua batalion komponen cadangan.

Menurut Sjafrie langkah ini bertujuan menciptakan stabilitas keamanan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat dalam sektor peternakan, perikanan, pertanian, hingga kesehatan. “Hal ini menunjukkan peran TNI yang lebih holistik,” kata Sjafrie kala itu.

Rencana pembentukan batalion teritorial pembangunan ini mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, beberapa di antaranya tidak mengkritik rencana itu.

Setara Institute: Ini Ekspansi Militer ke Ranah Sipil

Adapun SETARA Institute menilai rencana pembentukan batalion teritorial pembangunan menjadi potret baru militerisme gaya lama.

“Ini ekspansi militer ke dalam ruang sipil dengan bungkus pembangunan dan kesejahteraan. Militerisme tidak lagi hadir dalam bentuk alat kekuasaan dan penopang rezim sebagaimana terjadi pada Orde Baru,” kata peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, dalam keterangan tertulis pada Selasa, 10 Juni 2025.

Ikhsan mengatakan retorika pembangunan tidak dapat menyembunyikan realitas militer sedang memperluas peran dan pengaruhnya ke ranah yang bukan wewenangnya. Menurut dia,  pembentukan batalion ini mengakibatkan distorsi fungsi pertahanan. Dia mewanti-wanti bengkaknya anggaran imbas kebijakan tersebut.

“Penambahan puluhan ribu prajurit dapat berkonsekuensi bertambahnya beban anggaran, terutama untuk gaji, infrastruktur, dan pembinaan,” kata Ikhsan. 

Dia mendesak pemerintah dan DPR mengevaluasi rekrutmen massal dan menghentikan pembentukan batalion-batalion nontempur yang melanggar garis batas peran militer dalam negara demokratis.

Anggota DPR Sarankan TNI Berfokus Latihan Perang

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tubagus Hasanuddin menyarankan TNI kembali berfokus pada tugas utamanya menjaga pertahanan negara dibandingkan mengelola ketahanan pangan. 

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengingatkan prajurit TNI sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada kesiapan bertempur dengan melakukan latihan secara intensif. “Sesuai undang-undang yang berlaku,” katanya dalam pesan tertulis pada Rabu, 12 Juni 2025.

Menurut dia, latihan harus menjadi prioritas TNI, terutama dalam kondisi negara yang damai. Menilik situasi terkini di Tanah Air, dia menekankan tugas membangun ketahanan pangan seharusnya diserahkan kepada kementerian teknis, yaitu Kementerian Pertanian.

“Membangun depot-depot logistik atau ketahanan pangan sebaiknya tidak ditangani langsung oleh prajurit TNI aktif,” ujarnya.

Dia menjelaskan ada pengecualian yang bisa membuat TNI turun tangan mengurusi pangan, yakni dalam konteks perang berkelanjutan di mana ada urgensi bagi lembaga negara menyiapkan wilayah logistik dan persediaan makanan di sudut perkotaan maupun pedesaan.

Purnawirawan jenderal bintang dua itu menyebutkan hal tersebut bisa dibenarkan karena Indonesia menganut sistem pertahanan rakyat semesta. Sistem itu, kata dia, memungkinkan Indonesia memanfaatkan seluruh potensi demi kepentingan pertahanan negara.

Sehingga, dalam keadaan perang konvensional yang bisa berlanjut ke perang gerilya, TNI bisa turun langsung menjadi petani di lapangan dalam membangun depot-depot logistik. “Agar perlawanan dapat berlangsung selama mungkin,” tuturnya.

Masyarakat Sipil Kritik Rencana TNI AD

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam rencana TNI AD merekrut 24 ribu tamtama guna membentuk batalion teritorial pembangunan. 

“TNI direkrut, dilatih, dan dididik untuk perang. Bukan untuk mengurus urusan-urusan di luar perang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan,” ujar Koalisi dalam pernyataan pers pada Senin, 9 Juni 2025. 

Koalisi menyebutkan perekrutan dan pelibatan TNI dalam urusan pertanian, perkebunan, peternakan, dan pelayanan kesehatan sebagai bentuk kegagalan dalam menjaga batas demarkasi antara urusan sipil dan militer. Merujuk pada UUD 1945 dan UU TNI, pembatasan terhadap TNI sudah jelas, sehingga TNI tak memiliki kewenangan turun tangan dalam urusan-urusan sipil tersebut.

Menurut Koalisi, kompleksitas ancaman perang yang semakin trendy sejatinya menuntut TNI berfokus memperkuat kapasitas tempur, bukan justru dilebur dalam kegiatan nonmiliter yang menjadi ranah sipil. Mereka menilai hal ini mencederai semangat reformasi TNI yang memiliki cita-cita atas profesionalisme TNI dan nihilnya campur tangan TNI atas urusan sipil.

Koalisi mendesak presiden dan DPR untuk mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang dinilai telah mengingkari jati diri TNI.

DPR: TNI Memiliki Tugas Utama sebagai Alat Pertahanan Negara

Komisi I DPR, yang membidangi pertahanan, meminta TNI AD mencermati rencana pembentukan batalion teritorial pembangunan. Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono mewanti-wanti TNI untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menindaklanjuti rencana itu.

“TNI memiliki tugas utama sebagai alat pertahanan negara dan setiap kebijakan yang melibatkan rekrutmen prajurit harus tetap berpegang pada prinsip profesionalisme dan kesigapan tempur,” ujar Dave saat dihubungi pada Selasa, 10 Juni 2025.

Menurut Dave, rencana pembentukan batalion teritorial pembangunan adalah inisiatif TNI yang sejalan dengan visi pemerintah memperkuat sektor pangan dan kesehatan. Dia menganggapnya sebagai bentuk kontribusi TNI dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

Meski demikian, Dave menekankan evaluasi secara berkala harus dilakukan untuk memastikan kesuksesan program dengan manfaat yang dirasakan pemerintah tanpa mengorbankan kesiapan dan kemampuan pertahanan negara.

Politikus Partai Golkar ini menyebutkan Komisi I DPR akan terus berkomunikasi dengan TNI AD serta pemerintah untuk mengawasi implementasi program ini agar berjalan sesuai koridor hukum.

“Kami akan memastikan bahwa perekrutan 24 ribu calon tamtama ini tidak menggeser fokus utama TNI sebagai institusi pertahan. Serta tidak menimbulkan tumpang tindih dengan tugas-tugas yang seharusnya menjadi ranah sipil,” ucapnya.

Dian Rahma Fika, Daniel Ahmad Fajri, Amira Nada Fauziyyah, dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Peluang Jerat Pidana dalam Kasus Tambang Nikel Raja Ampat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *