4 Laporan Investigasi Pace soal Kasus Pemerkosaan 1998
TEMPO.CO, Jakarta – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya rumor belaka banjir kritik. Berbagai organisasi masyarakat sipil hingga warganet mengecam pernyataan tersebut.
“Pernyataan Fadli Zon menunjukan sikap nirempati terhadap korban dan seluruh perempuan yang berjuang bersama korban,” kata Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan Ita F. Nadia dalam Konferensi Pers Masyarakat Sipil Melawan Impunitas melalui Zoom Assembly pada Jumat, 13 Juni 2025.
Sementara itu, peristiwa ini menjadi laporan perdana Pace setelah sempat dibredel pemerintahan Orde Baru pada 1994. Kala itu, Pace membentuk tim investigasi khusus pemerkosaan Mei dan melaporkannya di edisi 6 Oktober 1998 dengan judul “Pemerkosaan: Cerita dan Fakta”.
Tim relawan saat itu melaporkan setidaknya ada 168 korban yang terdiri dari 152 korban di Jakarta, sisanya tersebar dari Solo, Medan, Palembang dan Surabaya. Kepada Pace, sejumlah pendamping korban dan saksi blak-blakan menuturkan kisah pemerkosaan yang brutal pada peristiwa kelam sebelum reformasi 1998 itu.
Berikut 4 laporan Pace tentang peristiwa ini yang bisa kembali dibaca:
1. Jalan Panjang Tragedi Itu: Benarkah Ada Pemerkosaan Mei 1998
Artikel ini bercerita bagaimana kepolisian berselisih pendapat dengan hasil temuan Tim Relawan. Kepala Kepolisian RI Letnan Jenderal Roesmanhadi kala itu mengatakan selama tidak ada bukti, pemerkosaan itu tidak ada.
Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya Kolonel Gorries Mere kemudian muncul di televisi dan mengatakan timnya telah melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut. “Polisi sudah menyelidik hingga 103 kasus, tapi tidak pernah kami dapatkan bukti konkret,” ucap dia.
Dalam menyelidiki kasus ini, Polda Metro Jaya membentuk tim khusus bernama Tim Merpati. Tim penyelidik yang dikomandani oleh Kapolda Noegroho Djajusman ini terdiri dari para polisi maupun polwan yang turun langsung ke lapangan. Lantas bagaimana temuannya?
Baca selengkapnya DI SINI.
2. Setiap Bertemu Lelaki, Anak Yatim Itu Histeris
Laporan ini berisi wawancara dengan Anton Indracaya-pendamping korban pemerkosaan Mei. Di situ, Anton menceritakan kisah tragis para korban yang ditemuinya. Mulai dari anak remaja berusia 15 tahun hingga korban yang vaginanya dirajam menggunakan besi gorden.
Anton menuturkan 8 korban yang didampinginya ia temui di beberapa rumah sakit di Jakarta melalui beberapa dokter kenalannya. Anton bercerita korban peristiwa keji itu rata-rata berusia 20 tahun. “Saya melihat langsung, ada yang dioperasi saluran tuba vaginanya, ada yang selaput daranya,” kata Anton.
Baca selengkapnya DI SINI.
3. Mona, Dibalik Seprai Kembang
Seorang pendamping pemerkosaan kerusuhan Mei 1998, Fannie, menceritakan kesaksiannya melihat seorang gadis keturunan Tionghoa dilecehkan lima pria di depan matanya. “Itulah penghinaan yang tak dapat saya hadapi sebagai perempuan maupun manusia,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia pun menceritakan kisah Mona-bukan nama sebenarnya, yang diperkosa oleh lima laki-laki di antara kerusuhan 13-14 Mei. “Empat pria memegang kakinya. Laki-laki kelima menempelkan leher dn kepala Mona ke ujung tempat tidur. Lalu, maaf, laki-laki itu memaksa memasukkan alat kelaminnya ke dalam mulut Mona–sembari keempat pria itu bergantian memerkosa nya di ujung sebelah,” tutur Fannie.
Baca selengkapnya DI SINI.
4. Susah Mencari Saksi Ahli, Apalagi Bukti
Tulisan ini mengungkap alasan mengapa peristiwa pemerkosaan pada ratusan orang itu sulit dibuktikan. Kendati banyak dokter dan perawat yang menangani para korban, tak satupun dari mereka yang berani bersuara.
Ester Handayani, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang peduli korban kerusuhan Mei, mengatakan sempat menemui dokter ahli ginekologi yang mau memiliki bukti-bukti pemerkosaan dan bersedia mengungkapnya ke publik. Namun, beberapa saat kemudian dokter itu membatalkan rencananya.
“Ia jadi takut dan mengurungkan niatnya untuk bersaksi,” ujar Ester. Dia mengatakan dokter itu tidak menyebutkan dengan jelas alasannya memilih diam. Mungkin, ia tak mau ambil risiko, apalagi pemerintah tengah galak-gakaknya membantah ihwal pemerkosaan massal.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia dan Ahli Hukum Universitas Indonesia kala itu juga turut berbicara mengenai alasan sulitnya kasus ini terungkap.
Baca selengkapnya DI SINI.