Jalur Domisili SPMB Dianggap Hanya Formalitas, Nilai Jadi Penentu Utama
TEMPO.CO, Jakarta – Rezky, 17 tahun, tak bisa mengalihkan pandangannya dari layar computer. Sejak pagi, Rezky mengatakan ia harus terus-menerus mengawasi peringkat nama adiknya di Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Jakarta. Ia khawatir nama adiknya kembali terlempar dari daftar sekolah negeri di Jakarta Selatan.
Dia bercerita setidaknya sudah lebih dari delapan sekolah ia coba untuk mendaftarkan adiknya ke SMP negeri. Tapi tak satu pun diterima lantaran nilai adiknya kalah dari yang lain.
“Padahal aku mendaftarkan lewat jalur domilisi. Tapi tetap yang diukur itu berdasarkan nilai,” keluh dia kepada Pace saat ditemui di salah satu kafe di Jakarta Selatan, Senin, 16 Juni 2025.
Rezky baru mengetahui ihwal aturan SPMB tahun ini setelah mencari informasi di web bahwa penjaringan diukur berdasarkan nilai. Meski ia telah mencoba mendaftarkan adiknya di beberapa SMP negeri di Jakarta lewat jalur domisili, namun nama adiknya tetap tersingkir dari pendaftar lain.
Sehingga Rezky memahami persaingan untuk masuk negeri tahun ini tetap mengutamakan calon murid yang memiliki nilai bagus. “Ini sekolah ke kesekian yang aku daftarkan untuk adikku. Tapi peringkat adikku sudah ada di 36 dari 49 siswa. Aku takut adikku kelempar lagi,” ucapnya.
Rezky bercerita orang tuanya berharap adiknya harus mendapatkan sekolah negeri. Ia bukan dari keluarga mampu, bukan pula keluarga miskin. “Keluargaku ekonominya biasa-biasa saja,” katanya. Sehingga untuk mendaftarkan adiknya lewat afirmasi, ada beberapa syarat yang tak terpenuhi. “Untuk jalur prestasi apalagi, nilai adikku pas-pasan,” ucapnya.
Dia menyimpulkan, calon murid yang serba “pas-pasan” akan sulit bersaing untuk bisa masuk sekolah negeri. “Jadi percuma, walau rumah dekat, tapi di sekitar rumah nilainya ada yang lebih tinggi, pasti akan tersingkir,” keluhnya.
Ketika dikonfirmasi keluhan tersebut kepalada Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Sarjoko. Ia hanya mengatakan jalur domisili untuk jenjang SD dan SMP adalah berdasarkan pemetaan wilayan prioritas atau jarak. Sehingga secara tidak langsung, jarak adalah penentu utama calon murid diterima atau tidak lewat jalur domisili.
“Sedangkan untuk jalur domisili jenjang SMA, calon murid baru bisa memilih sekolah yang berada di wilayah domisili calon murid baru dengan urutan seleksi, pertama kemampuan akademik, kedua prioritas pemetaan wilayah, ketiga pilihan sekolah dan keempat waktu pendafataran,” kata Sarjoko melalui pesan singkat, Selasa 17 Juni 2025.
Namun, Sarjoko tak menjawab keluhan beberapa wali murid dan calon murid soal jalur domisili yang ternyata tetap diukur berdasarkan nilai.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, sebelumnya juga menyebut banyak keluhan orang tua soal jalur domisili tersebut. Banyak orang tua mengeluh pada JPPI dan mengatakan bingung dengan syarat jalur domisili. “Karena ujung-ujungnya ternyata yang diukur itu adalah prestasi,” kata Ubaid.
Ubaid bahkan mengistilahkan jalur domisili pada SPMB tahun ini dengan jalur ‘domisili rasa prestasi’. Dia juga menduga arah pendidikan ke depan akan kembali ke sistem prestasi. Sejalan dengan rencana pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang sudah diwacanakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti.
Permendikdasmen No. 3 tahun 2025 tentang SPMB, kata Ubaid, memang tak mengurus detil soal aturan jalur domisili. Sehingga semua kebijakan soal syarat dan jumlah rombel tiap sekolah diatur oleh pemerintah daerah. “Jadi memang sekarang ini lebih mengarah memberikan karpet merah untuk mereka yang berprestasi,” katanya.