Kilas Balik 31 Tahun Pembredelan Pace, Editor, dan Detik oleh Orde Baru
TEMPO.CO, Jakarta – Kemarin 21 Juni 2025, genap 31 tahun sejak Majalah Tempo dibredel oleh pemerintah Orde Baru pada 1994. Bersamaan dengan Tempo, dua media lain, Majalah Editor dan Tabloid Detik, ikut kehilangan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Penyebab dari pembredelan ini dikarenakan laporan investigatif soal dugaan korupsi pembelian 39 kapal perang eks-Jerman Timur yang saat itu dikaitkan dengan Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Pemerintah Orde Baru berdalih pemberitaan itu bisa mengancam stabilitas nasional.
Dalih Ancaman Stabilitas
Keputusan ini diumumkan langsung Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas instruksi Menteri Penerangan Harmoko melalui SK Nomor 123/KEP/MENPEN/1994.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Legowo, S.H. dalam Dinamika Politik Rezim Orde Baru di Indonesia, pemerintah berdalih pemberedelan dilakukan atas alasan keamanan dan stabilitas nasional. Tempo dituding tak menjalankan prinsip “Pers Pancasila” yang sehat dan bertanggung jawab.
Kajian Haritajaya (2017) mencatat pelanggaran yang dituduhkan terhadap Tempo mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menekankan pentingnya pengembangan pers yang bebas tapi bertanggung jawab.
Sementara itu, B. Müller dalam Censorship & Cultural Regulation in the Modern Age menyebut pemberedelan Tempo sebagai tindakan bermuatan politik. Di mata pemerintah, Tempo dikenal sebagai media yang berani mengungkap korupsi dan pelanggaran HAM. Karena itu, keputusan mencabut SIUPP menjadi pesan politik bahwa Orde Baru tak akan mentoleransi kritik yang mengancam kekuasaan.
Menentang Bungkamnya Pers
Menurut salah satu pendiri Tempo, Goenawan Mohamad atau GM, pembredelan kala itu membuat peluang majalah ini untuk kembali terbit nyaris pupus. “Pembredelan di awal 1990-an berlaku buat seterusnya; surat kabar atau majalah hanya diizinkan terbit kembali jika memenuhi sejumlah syarat kepatuhan — dan harus dengan nama baru,” kenang Goenawan.
Bahkan mantan Pemimpin Redaksi Tempo, Bambang Harymurti atau disapa BHM, menggambarkan suasana kantor Tempo saat itu,“Antara sedih dan marah”. Peristiwa itu, kata Bambang Harymurti, terekam lekat dalam ingatannya. Ia mengenang suasana kantor yang riuh ramai. BHM masih ingat kata-kata Goenawan Mohamad ketika berpidato pasca pembredelan, “Kita boleh kalah, tapi tidak boleh takluk.”
GM juga mengenang pertemuannya dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, salah satu menteri yang menunjukkan simpati kepada majalah Tempo sepekan setelah ultimatum yang dilayangkan oleh Hashim. Saat Sarwono bertanya mengapa ia memilih melawan keras keputusan pemerintah atas pembredelan tersebut, GM menjawab, “It is about self-respect,” tulisnya dalam memoar yang pernah diunggah di akun Facebooknya.
Pembredelan ini justru menjadi tonggak perlawanan. Aksi protes tidak berhenti di dalam kantor Tempo. Sehari setelah SIUPP dicabut, puluhan wartawan muda, aktivis, dan mahasiswa memadati Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Mereka melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan, mendesak Harmoko mencabut keputusan pembredelan pada Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan demonstran.
Gelombang demonstrasi juga menyebar di Yogyakarta. Oleh massa aksi, kantor biro Tempo dibungkus dengan kertas putih sebagai simbol pembungkaman. Adapun pada 27 Juni 1994, aksi massa diwarnai bentrok dengan aparat. Puluhan orang terluka saat demonstrasi dibubarkan secara paksa.
Tak bisa dipungkiri kalau panggung politik Indonesia pada dekade 1990-an dipenuhi gejolak. Gelombang aksi massa menentang kebijakan Presiden Soeharto kerap memenuhi jalan-jalan Jakarta hingga halaman parlemen. Bentrokan dengan aparat nyaris jadi pemandangan biasa. Tak sedikit demonstran terluka, bahkan meregang nyawa dalam pusaran perlawanan.
Pembredelan media massa yang terjadi ini menjadi sebuah pukulan telak terhadap iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Aksi-aksi yang telah dilakukan menjadi penanda peran pers sebagai watchdog demokrasi dan hak asasi manusia.
Menghadapi pembredalan ini, Tempo tak memilih diam dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasil dari perlawanan ini mengejutkan karena tanpa diduga hakim Benyamin Mangkoedilaga memenangkan Tempo.
Kemudian, selepas Soeharto lengser pada 1998, Tempo kembali terbit hingga hari ini. Mendiang Rahman Tolleng, tokoh KAMI 1966 sekaligus salah satu evaluator sikap pemberitaan Tempo, menilai perlawanan dan penolakan itu menunjukkan sikap kritis yang dimiliki Tempo sebagai media, “Masih bisa dianggap bahwa dia bisa bertahan sebagai pers yang kritis,” kata Rahman Tolleng, 31 tahun lalu.
Bukan Pemberedelan Pertama
Pembredelan 1994 bukan kali pertama bagi Tempo. Pada 1982, pemerintah juga sempat menghentikan penerbitannya karena kritik terhadap Partai Golkar. Setelah negosiasi, Tempo kembali terbit.
Namun, pembredelan Tempo bukanlah kejadian pertama di Indonesia. Sebelum 1994, pemerintah sudah berulang kali menutup media kritis. Dalam catatan Tempo Interaktif, pemberedelan pers telah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Orde Baru. Mulai dari masa Soekarno hingga puncaknya di bawah rezim Soeharto.
Pada 1949, surat kabar kiri di Yogyakarta ditutup karena terlalu kritis terhadap Presiden Sukarno. Pada 1960, sekitar 40 media pro-kiri dicabut izinnya. Setelah pembubaran PKI tahun 1966, 46 media kiri lainnya ikut diberedel.
Di era Soeharto, hubungan pers dan pemerintah sempat membaik. Namun sejak 1972, pembungkaman kembali marak. Tabloid Sendi mahasiswa UGM ditutup karena mengkritik proyek Taman Mini dan Tien Soeharto. Setahun kemudian, harian Sinar Harapan diberedel karena menganalisis APBN sebelum dibahas DPR.
Pasca-peristiwa Malari 1974, 12 media ditutup. Pada 1978, menyusul gelombang demonstrasi kampus, pemerintah kembali membekukan 14 media mahasiswa. Tahun 1986 dan 1987, giliran Sinar Harapan dan Prioritas diberedel. Namun pada 1994, gelombang perlawanan muncul. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, wartawan memilih melawan.
Dalam kacamata akademisi B. Müller, langkah pemerintah kala itu sarat kepentingan politik. Rezim Orde Baru ingin memperingatkan media agar patuh, sekaligus menebar pesan bahwa pengawasan terhadap kekuasaan harus diredam.
Lahirnya AJI
Mengutip laporan dari Aji.or.id, represi terhadap ruang gerak pers kala itu justru memantik gelombang perlawanan dari komunitas jurnalis di berbagai penjuru negeri. Pembredelan Tempo, Editor, dan Detik pada 21 Juni 1994 menyulut aksi solidaritas yang meluas, mengubah kemarahan menjadi gerakan kolektif yang menuntut kebebasan pers.
Puncaknya terjadi pada 7 Agustus 1994. Sekitar seratus jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Jawa Barat, dan mengumumkan berdirinya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dari forum itulah lahir Deklarasi Sirnagalih, deklarasi itu berisi seruan untuk menuntut hak publik atas informasi, menolak pengekangan pers, dan menentang wadah tunggal jurnalis.
Hendrik Khoirul Muhid dan Gerin Rio P. berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Yos Suprapto Turunkan Karyanya di Galeri Nasional Belum Temukan Titik Temu