Kilas Balik Kembalinya 4 Pulau ke Aceh
TEMPO.CO, Jakarta – Sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara sempat memanas. Keempat pulau yang disengketakan adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Pilihan Editor:Banyak Sengketa Pulau Selain di Aceh dan Sumatera Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Dalam Negeri lewat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau menyatakan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumut. Keputusan itu ditandatangani Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 25 April 2025.
Situasi politik di Aceh memanas lantaran pemerintah dan masyarakatnya memprotes keputusan tersebut. Mereka bahkan mengancam akan melawan. Ancaman perlawanan itu mengingatkan kembali ketika sebagian rakyat Aceh mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976. Gubernur Aceh saat ini, Muzakir Manaf, pernah menjadi Panglima GAM. Gerakan tersebut bertujuan memisahkan diri dari Indonesia.
Menteri Tito pada awalnya berkukuh tidak akan mengubah Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Ia mengatakan Kepmendagri itu sudah melalui kajian geografis dan melibatkan berbagai instansi. Ia pun menekankan bahwa penetapan wilayah dan pulau itu diperlukan untuk memenuhi syarat penamaan pulau ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Silakan saja,” kata Tito di Istana pada 10 Juni 2025.
Sikap Tito itu makin memicu kemarahan masyarakat Aceh. Mereka berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Aceh pada Senin, 16 Juni 2025. Mereka mendesak agar keempat pulau tersebut dikembalikan ke Aceh. Pemerintah Aceh juga mengajukan gugatan ke PTUN.
Prabowo Diminta Turun Tangan Menyelesaikan Sengketa
Dewan Perwakilan Rakyat kemudian meminta Presiden Prabowo Subianto menyelesaikan sengketa itu sebelum situasi politik di Aceh kembali membara. Prabowo kemudian turun tangan. “Akhirnya Presiden mengambil alih penyelesaian permasalahan tersebut,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 17 Juni 2025.
Istana lantas menggelar rapat untuk menyelesaikan konflik empat pulau tersebut. Peserta rapat tersebut di antaranya Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Tito Karnavian, dan Dasco. Prabowo memimpin rapat secara virtual.
Dalam rapat, Dasco melaporkan adanya dokumen baru mengenai kepemilikan keempat pulau. Dokumen tersebut adalah Keputusan Mendagri Nomor 111 Tahun 1992. Dokumen ini berisi kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar yang menegaskan keempat pulau masuk wilayah Aceh.
Dokumen tersebut menjadi rujukan kesimpulan rapat. Prabowo lantas memutuskan keempat pulau tetap menjadi bagian wilayah Provinsi Aceh. “Karena temuan dan bukti autentik tersebut, kami sepakat bahwa di hadapan Bapak Presiden, kedua gubernur akan menandatangani pembaruan kesepakatan bahwa empat pulau itu adalah bagian dari Aceh,” kata Dasco, yang pernyataannya diunggah di kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Empat Pulau Sengketa Milik Aceh Berdasarkan Dokumen 1992
Menteri Tito menjelaskan alasan pemerintah memutuskan 4 pulau sengketa masuk wilayah Aceh. Tito mengatakan telah ditemukan dokumen asli berisi kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992.
Mantan Kapolri ini mengatakan dokumen tersebut berisi penegasan Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang masuk wilayah Aceh.
Tito menuturkan dokumen asli itu ditemukan di Gedung Arsip Kementerian Dalam Negeri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Senin, 17 Juni 2025. “Ada tiga gedung dibongkar-dibongkar dokumen asli yang kesepakatan dua gubernur,” kata dia dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 17 Juni 2025.
Tito berujar, Kementerian Dalam Negeri awalnya memutuskan empat pulau tersebut masuk wilayah Sumatera Utara berdasarkan hasil rapat Tim Pembakuan Rupabumi pada 2017. Tim itu terdiri dari Kemendagri, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Direktorat Topografi Angkatan Darat, dan Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal). Rapat itu memutuskan empat pulau masuk wilayah Sumut.
Pertimbangannya, pada 2008, pernah dilakukan verifikasi pulau di seluruh Indonesia. Dalam verifikasi itu, empat pulau tidak masuk wilayah Aceh.
Menurut Tito, Gubernur Aceh tidak memasukkan empat pulau Aceh pada pendataaan 2008 dan 2009. Sementara surat dari Gubernur Sumatera Utara memasukkan empat pulau yang disengketakan tersebut ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumut. “Ini suratnya ada 2008 dan 2009,” ujarnya.
Meski demikian, Tito mengatakan pemerintah Aceh sempat mengirimkan surat keberatan karena 4 pulau itu tidak dimasukkan ke dalam wilayahnya. Namun tim melihat 4 pulau itu tidak masuk dalam koordinat wilayah Aceh. Dia menyebutkan, berdasarkan informasi geospasial, 4 pulau itu juga masuk dalam wilayah Tapanuli Tengah.
Tito akan Merevisi Kepmendagri 2025
Lebih lanjut Tito menyebutkan, pada 2022, Kemendagri menerbitkan Kepmendagri yang memasukkan 4 pulau tersebut ke Tapanuli Tengah. Namun Gubernur Aceh kala itu keberatan.
Gubernur Aceh kemudian memberikan dokumen surat kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara perihal batas wilayah untuk Tapanuli Tengah dan Aceh pada 1992. Isinya, penegasan 4 pulau itu masuk wilayah Aceh.
Berdasarkan dokumen itu, Tito mengatakan Kemendagri sempat mempertimbangkan kemungkinan keempat pulau itu masuk wilayah Aceh. Namun dokumen itu hanya berupa fotokopi, sehingga Kemendagri khawatir akan mendapatkan masalah hukum.
Tim Pembakuan Rupabumi lantas berupaya mencari dokumen aslinya. Namun sampai April 2025, dokumen itu tidak kunjung ditemukan. “Sehingga, pada 2025, cakupannya masih Sumatera Utara,” kata dia.
Meski demikian, Tito menuturkan dokumen asli itu pada akhirnya ditemukan. Dokumen yang ditemukan di pusat arsip itu adalah Kepmendagri Nomor 111 Tahun 1992 tentang Penegasan Batas Wilayah Antara Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara dengan Propinsi Daerah Istimewa Aceh tanggal 24 November 1992. Dokumen itu menyatakan keempat Pulau tersebut masuk menjadi cakupan wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil, Aceh.
Tito berujar dokumen itu penting karena memberikan pengakuan kesepakatan antara dua gubernur pada 1992. Dokumen itu menjadi legalisasi empat pulau yang disengketakan itu masuk wilayah Aceh.
Karena itu, Tito mengatakan pihaknya akan merevisi Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengatur kode pulau-pulau kecil di Indonesia, termasuk empat pulau yang sebelumnya menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara. Kemendagri kemudian akan menyampaikan perubahan itu kepada United Nations Conference on Standardization of Geographical Names (UNCSGN).
JK Sebut Kasus Rebutan 4 Pulau Jadi Pelajaran Buat Pemerintah
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan kembalinya empat pulau ke Aceh harus menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah. Ia menilai keputusan pemerintah yang semula memindahkan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara tidak tepat. “Ini pembelajaran bagi pemerintah bahwa sebelum mengambil tindakan-tindakan itu harus juga memahami sejarah, memahami undang-undang itu sendiri,” katanya, Selasa malam, 17 Juni 2025.
JK menyebutkan seharusnya pemerintah menelaah aspek historis dan meninjau Undang-Undang Pemerintah Aceh serta perjanjian Helsinki sebelum memutuskan status empat pulau yang disengketakan. Dari situ, kata dia, pemerintah pusat harus mendapat persetujuan Gubernur Aceh bila hendak membuat keputusan yang menyangkut soal Aceh.
“Nah ini tidak dilakukan (pemerintah). Karena, kalau tidak, ini bisa menimbulkan masalah besar bagi kita semua,” tutur mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.
Hendrik Yaputra, Dian Rahma Fika, dan Sapto Yunus berkontribusi dalam penulisan artikel ini.