Reaksi atas Putusan MK soal Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah
MAHKAMAH Konstitusi atau MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum atau pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Pemilu nasional adalah pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilu berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan pada Kamis, 26 Juni 2025.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan dalam hasil pemilu nasional. Dalam rentang waktu yang sempit itu, hakim menilai pelaksanaan pemilu yang serentak menyebabkan masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Mahkamah juga mempertimbangkan tahapan pemilu nasional yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pemilu lokal berimplikasi pada stabilitas partai politik. Khususnya berkaitan dengan kemampuan partai mempersiapkan kader yang akan maju dalam pemilu.
Akibatnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menambahkan parpol mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi parpol. MK juga menilai parpol tidak memiliki waktu yang cukup merekrut calon anggota legislatif untuk tiga degree sekaligus, apalagi bagi parpol yang juga harus mempersiapkan kadernya berkontestasi dalam pemilu presiden-wakil presiden.
Dari sisi pemilih, Mahkamah mempertimbangkan waktu penyelenggaraan pemilu nasional yang berdekatan dengan pemilu lokal berpotensi membuat pemilih jenuh dengan time table pemilu, sehingga secara tidak sadar berpengaruh pada kualitas pilihan.
Ini merupakan bagian dari amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK. Dalam petitum, Perludem meminta MK memutus Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Putusan MK tersebut mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan merevisi UU Pemilu.
Kemendagri Berjanji Mengakomodasi Putusan MK
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengungkapkan pihaknya akan mempelajari dan berjanji mengakomodasi putusan MK tersebut. Mengingat, kata dia, saat ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga sedang dalam proses revisi UU Pemilu.
“Kita pelajari dulu lebih element keputusan MK ini. Yang pasti, keputusan MK kan ultimate dan kita letakkan dalam konteks revisi (UU Pemilu) sebagai salah satu masukan,” kata Bima di IPDN, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Kamis, 26 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Bima menegaskan putusan MK ini akan dipertimbangkan masuk ke proses revisi UU Pemilu. Namun dia mengatakan eksekusi dan implementasinya harus dipelajari dulu dengan sangat element.
“Tapi sebelumnya kan sudah pernah ada ya masukan-masukan terkait pemisahan antara keadaan dan pemilu. Ya itu salah satu yang gencar disuarakan oleh teman-teman kampus dan pemerhati pemilu,” tuturnya.
Komisi II DPR Sebut Putusan MK Jadi Bahan Revisi UU Pemilu
Adapun Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan putusan MK yang menyatakan pemilu nasional dan pemilu lokal harus dipisahkan dengan jeda waktu 2,5 tahun akan menjadi bahan bagi revisi UU Pemilu.
Politikus Partai NasDem ini menuturkan pihaknya pun harus mencari cara dan components yang paling tepat untuk menghadirkan pemilu nasional dan lokal, karena politik hukum nasional menjadi kewenangan konstitusional Komisi II DPR.
“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu fear bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” ujarnya di Jakarta, Kamis.
Jika putusan itu diterapkan, dia menilai pemilu yang akan digelar selanjutnya, yakni pemilu nasional pada 2029 dan pemilihan lokal pada 2031. Maka, dia mengatakan jabatan-jabatan di tingkat lokal perlu ada transisi.
“Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” kata dia.
Menurut dia, penunjukan pelaksana tugas atau pejabat sementara bisa dilakukan terhadap jabatan eksekutif seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai jabatan legislatif. “Untuk anggota DPRD, satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” kata dia.
Untuk itu, dia mengatakan hal-hal tersebut akan menjadi dinamika dalam perumusan revisi UU Pemilu. Dia mengatakan Komisi II DPR masih menunggu arahan dan keputusan Pimpinan DPR untuk bisa membahas RUU tersebut.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK meminta DPR dan pemerintah mengatur masa transisi untuk masa jabatan kepala/wakil kepala daerah serta anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil Pemilu 2024 setelah pemilu lokal dipisahkan dari pemilu nasional mulai 2029.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum putusan itu mengatakan pembentuk undang-undang perlu melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) pasca-putusan itu. Saldi menjelaskan rampungnya pemilu nasional dapat dihitung dari waktu pelantikan masing-masing jabatan politik yang dipilih dalam pemilu nasional tersebut.
“Peristiwa pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden dapat diposisikan sebagai akhir dari tahapan pemilu sebelumnya, in casu (dalam hal ini) pemilu anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden,” kata Saldi.
Dede Leni Mardianti dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kontroversi Penjualan Sejumlah Pulau di Berbagai Daerah