Cerita Perkenalan Hasto Kristiyanto dengan Harun Masiku
TEMPO.CO, Jakarta – Hasto Kristiyanto ceritakan perkenalannya dengan Harun Masiku pada 2019 yang kemudian menyeretnya dalam kasus dugaan suap dan perintangan hukum. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Sekjen PDIP) itu kini duduk sebagai terdakwa dan terancam pidana maksimal 5 sampai 12 tahun penjara.
Hasto menceritakan awal mula ia mengenal Harun Masiku yang berstatus buronan tersebut dalam persidangan perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Kamis, 26 Juni 2025. Dalam agenda pemeriksaan terdakwa itu, Jaksa Penuntut Umum atau JPU bertanya apakah Hasto mengenal Harun Masiku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Izin Yang Mulia, saya mengenal Harun Masiku ketika proses pencalegan pada tahun 2019,” tutur Hasto, Kamis.
Hasto melanjutkan, kala itu Harun Masiku menemuinya di kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP dengan membawa biodata, sekaligus menyatakan niat mendaftar sebagai calon anggota legislatif atau caleg pada pemilihan umum atau Pemilu 2019. Karena menjadi caleg bersifat terbuka, Hasto meminta Harun Masiku datang ke sekretariat guna mengisi biodata.
“Itu perkenalan dan pertemuan saya pertama dengan saudara Harun Masiku.”
Jaksa pun menanyakan apakah saat mendaftar Harun Masiku sudah berstatus sebagai kader PDIP. Menurut Hasto, ketika itu Harun Masiku menunjukkan kartu tanda anggota (KTA). Tetapi, lanjut Hasto, bukan sebagai kader PDIP. Jaksa kemudian kembali bertanya soal penentuan daerah pemilihan atau dapil untuk Harun Masiku.
“Nah, akhirnya Harun Masiku itu kan menjadi caleg ya? Itu penempatannya di dapil berapa pada waktu itu dan kenapa ditempatkan di situ?” ujar Jaksa.
Hasto menuturkan, dalam peraturan partai, setiap caleg wajib mendaftar dan mengisi formulir. Mereka juga harus mengusulkan dua daerah pemilihan. Dalam biodatanya, Harun Masiku disebut mengusulkan dapil I Sulawesi Selatan, yang merupakan tanah kelahirannya. Kedua, dapil I Sumatera Selatan. Lalu, rapat DPP PDIP mengabulkan dapil pilihan kedua Harun Masiku.
“Karena di Tana Toraja, Sulawesi Selatan itu sudah terisi dengan kader-kader senior,” tutur Hasto.
Kronologi Kasus Suap Harun Masiku hingga Menyeret Hasto Kristiyanto
Keterlibatan Harun Masiku dalam Pemilu 2019 berubah menjadi kasus setelah PDIP memaksakan agar kadernya itu menjadi pengganti antarwaktu (PAW) untuk caleg PDIP pemenang dapil I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Padahal, sesuai Undang-undang Pemilu, pengganti caleg meninggal adalah caleg peraih suara terbanyak berikutnya, yakni Riezky Aprilia.
Menurut laporan majalah Tempo edisi 13-19 Januari 2020, kasus ini bermula pada awal Juli 2019. Ketika itu PDIP memberikan kuasa kepada Donny Tri Istiqomah untuk mendaftarkan uji materi Pasal 54 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung atau MA. Permohonan itu dikabulkan MA pada pertengahan Juli 2019.
Kemudian pada awal Agustus 2019, PDIP mengirimkan surat kepada KPU dengan nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 perihal putusan MA. PDIP meminta agar suara milik Nazarudin Kiemas, yang meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan, dialihkan kepada Harun Masiku. Surat diteken Bambang Dwi Hartono dan Hasto Kristiyanto.
Pada penghujung Agustus 2019, rapat pleno KPU menolak permintaan PDIP, lalu menetapkan Riezky Aprilia sebagai peraih suara terbanyak kedua sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi PDIP bersikukuh, pada pertengahan September 2019, partai ini meminta fatwa kepada MA agar KPU melaksanakan putusan MA soal penetapan suara caleg. PDIP juga mengirimkan surat berisi penetapan caleg kepada KPU.
Dalam rentang pekan terakhir September 2019, kader PDIP Saeful Bahri melobi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fidelina guna meloloskan permohonan partainya supaya KPU menetapkan Harun Masiku, bukan Riezky Aprilia. Agustiani lalu menyerahkan surat penetapan caleg dan fatwa MA dari Saeful kepada komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk membantu penetapan Harun Masiku. Wahyu menyanggupi dan meminta “dana operasional” Rp 900 juta.
Pada pertengahan Desember, Saeful diduga melapor kepada Hasto soal rencana pemberian uang Rp 400 juta kepada Wahyu Setiawan. Dalam kurun waktu yang sama, kepada Agustiani, Saeful menyerahkan Rp 200 juta dalam bentuk dolar Singapura. Wahyu Setiawan kemudian menerima Rp 150 juta dalam bentuk dolar Singapura yang diantarkan Agustiani di pusat belanja Pejaten Village, Jakarta Selatan.
KPU lalu menerima surat dari PDIP pada 18 Desember 2019 yang bernomor 224/EX/DPP/XII/2019 tertanggal 6 Desember 2019 perihal permohonan pelaksanaan fatwa MA lengkap dengan lampiran fatwa MA. Dalam surat ini, PDIP memohon kepada KPU untuk melaksanakan pergantian antarwaktu Riezky Aprilia kepada Harun Masiku. Surat ini ditandatangani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Hasto selaku Sekjen PDIP.
Kemudian pada 23 Desember 2019, Harun Masiku menyerahkan Rp 850 juta kepada Riri, anggota staf di kantor PDIP, di sebuah rumah di Jalan Sutan Syahrir Nomor 12 A, Jakarta, yang merupakan kantor Hasto Kristiyanto, lalu diteruskan kepada Saeful. Tiga hari berselang, pada 26 Desember 2019, Agustiani Tio menerima Rp 450 juta dari Saeful. Keesokan harinya, Wahyu Setiawan meminta Agustiani menyimpan dulu uang tersebut.
Rapat pleno KPU pada 6 Januari 2020 kembali menolak permintaan PDI Perjuangan yang ingin mengganti Riezky Aprilia dengan Harun Masiku. Wahyu Setiawan lalu menghubungi Donny Tri Istiqomah dan berjanji mengusahakan kembali proses pergantian antarwaktu untuk Harun. Pada 8 Januari 2020 pagi, Wahyu Setiawan meminta uang kepada Agustiani. Namun pada siangnya, ia ditanggapi oleh KPK di Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Setelah menangkap Wahyu Setiawan, KPK juga menangkap Agustiani di rumahnya di Depok, Jawa Barat, bersama uang dolar Singapura senilai Rp 400 juta dan buku rekening. Pada malamnya, KPK berusaha menjemput Hasto yang diduga bertemu Harun Masiku di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan.
Tapi tim KPK pulang dengan tangan hampa setelah sempat ditahan sejumlah polisi di lingkungan PTIK hingga menjelang subuh. Hasto lalu muncul di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat setelah namanya tak disebut KPK dalam pengumuman hasil operasi tangkap tangan. Ia mengaku sakit diare pada Rabu malam, 8 Januari 2020, Hasto membantah bersembunyi.
“Saya sembuh berkat obat puyer Cap Kupu-kupu,” ujarnya.
Cerita gagalnya penangkapan Harun Masiku dan Hasto itu dilaporkan majalah Tempo dalam artikel “Di Bawah Lindungan Tirtayasa”. Malam itu, Rabu, 8 Januari 2020 pukul 20.00, Harun Masiku dipapak petugas keamanan di kantor Hasto, Nurhasan, untuk menemui Sekjen PDIP di kompleks PTIK tersebut.
Sebelum berangkat, Nurhasan meminta Harun Masiku untuk merendam telepon selulernya di dalam air. Tak bisa menjelaskan alasannya, Nurhasan menawarkan diri menjemput Harun Masiku di dekat sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di sekitar Cikini, Jakarta Pusat. Dalam keadaan gerimis, Harun Masiku membonceng Nurhasan ke lokasi Hasto menunggu.
Gerak-gerik keduanya dipantau oleh petugas KPK. Di PTIK, tim KPK terus mengamati keberadaan Harun Masiku dan Hasto. Sembari terus memantau keberadaan target, lima penyelidik rehat sejenak untuk menunaikan salat isya di masjid Daarul ‘Ilmi di kompleks PTIK. Namun, saat hendak masuk masjid, mereka malah dicokok sejumlah polisi. Operasi senyap untuk menangkap Hasto dan Harun pun buyar.
“Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari 2020.
Sejak saat itu, Harun Masiku menghilang. Lantaran Harun Masiku menghilangkan diri, penegakan hukum terhadap kasus ini baru dilangsungkan terhadap Wahyu dan Saeful. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan Saeful sebagai terdakwa penyuap Wahyu pada Kamis, 30 April 2020, nama Hasto turut disebut-sebut.
Saeful mengatakan suap diberikan kepada Wahyu untuk disalurkan kepada anggota KPU lain. Namun, belum sempat fulus itu didistribusikan, Wahyu sudah keburu dicokok KPK. Buntut kasus ini, Wahyu divonis 7 tahun penjara dan masuk bui terhitung sejak Januari 2020. Namun, 3 tahun 9 bulan kemudian atau pada Oktober 2023, ia dibebaskan bersyarat. Sedangkan Saeful dipidana penjara 1 tahun 8 bulan.
Lama mengendap, KPK mulai getol kembali membuka kasus Harun Masiku sejak pertengahan 2024. Kasus ini kembali mencuat setelah lembaga antirasuah itu memeriksa tiga saksi yang disebut sebagai kerabat Harun Masiku untuk mencari keberadaan buron sejak 4 tahun lalu itu. Mereka yakni seorang pengacara dan dua mahasiswa
“Hari ini, bertempat di gedung Merah Putih KPK, Tim Penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi,” kata Juru bicara KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Rabu, 29 Mei 2024.
Usai pemeriksaan ketiga saksi, Penyidik KPK juga memeriksa Hasto pada Senin, 10 Juni 2024. Saat pemeriksaan, ponsel Hasto disita oleh penyidik. Penyidik KPK mengambil barang Hasto yang dibawa sang asisten, Kusnadi, yang sedang menunggu di lobi Gedung Merah Putih. Hal itu membuat PDIP protes.
“Harus diingat kehadiran Pak Hasto diperiksa sebagai saksi, bukan tersangka,” kata Juru Bicara PDIP Chico Hakim, Senin.
Namun, usai Pilkada 2024, KPK kemudian menetapkan Hasto sebagai tersangka kasus suap terhadap Wahyu. Setyo Budiyanto saat itu menyatakan Hasto memiliki peran vital dalam penyuapan. Dia juga dijerat pasal perintangan hukum karena diduga membantu pelarian Harun saat akan ditangkap tangan oleh KPK pada 2020 lalu.
“Uang suap sebagian dari HK (Hasto Kristiyanto), itu dari hasil yang sudah kami dapatkan saat ini,” kata Setyo dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, 24 Desember 2024.
Setelah 59 hari berstatus sebagai tersangka, Hasto kemudian ditahan oleh KPK per Kamis, 20 Februari 2025. Hasto ditahan selama 20 hari terhitung mulai pada 20 Februari 2025 sampai dengan 11 Maret 2025. Penahanan dilakukan di Cabang Rumah Tahanan Negara dari Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur.
Setelah disidangkan, Hasto didakwa menyuap Wahyu Setiawan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai calon legislatif PAW DPR periode 2019 hingga 2024. Jaksa KPK Wawan Yunarwanto mengatakan, Hasto secara bersama-sama dengan Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah menyuap Wahyu Setiawan.
Dalam pembacaan dakwaan di sidang perdana itu, Jaksa membeberkan nominal suap ini berjumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp 600 juta. Selain menyuap, jaksa mendakwa Hasto menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka.
Perintangan penyidikan ini dilakukan dengan cara memerintahkan Harun Masiku untuk merendam telepon genggam miliknya ke dalam air setelah Wahyu Setiawan ditangkap KPK. Perintah itu diberikan melalui penjaga Rumah Aspirasi bernama Nur Hasan.
“Hasto juga memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK,” ucap Wawan dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Jumat, 14 Maret 2025.
Hasto Kristiyanto terancam pidana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.