Respons Anggota DPR atas Putusan MK soal Pemilu Nasional dan Daerah
TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Perludem meminta MK untuk mencabut frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Putusan ini mengakhiri technology pemilu serentak. MK menegaskan pemilu nasional, yang mencakup pemilihan anggota DPR, DPDP, serta presiden dan wakil presiden, harus dipisahkan dari pemilu daerah yang meliputi pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta kepala dan wakil kepala daerah.
Jarak waktu antara pemilu nasional dan daerah ditetapkan minimum 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menyatakan keputusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal dengan jeda 2,5 tahun akan menjadi dasar untuk merevisi UU Pemilu.
Politikus dari Partai NasDem ini mengatakan pihaknya perlu mencari cara dan method terbaik untuk menyelenggarakan pemilu nasional dan lokal, mengingat hal tersebut merupakan kewenangan konstitusional Komisi II DPR.
“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu fear bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” tuturnya pada Kamis, 26 Mei 2025.
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini sebelumnya mendorong agar revisi Undang-Undang Pemilu segera dibahas. Menurut dia, penyelesaian RUU Pemilu lebih awal akan memaksimalkan persiapan untuk pelaksanaan tahapan pemilihan.
“Juga akan lebih memudahkan menyelesaikan berbagai keberatan yang mungkin muncul terkait materi muatan dalam RUU Pemilu,” ucap Titi dalam keterangannya pada Sabtu, 20 Mei 2025.
Titi menjelaskan, jika RUU Pemilu selesai dibahas sebelum tahapan pemilihan dimulai, tidak akan ada perubahan aturan yang mendadak. Ia juga menekankan bahwa pembahasan RUU Pemilu lebih awal dapat meningkatkan deliberasi dan partisipasi semua pihak.
Sebaliknya, Titi mengingatkan bahwa jika pembahasan RUU Pemilu ditunda, hal ini berisiko menyebabkan penyelesaian yang terburu-buru. Ia khawatir, jika tidak segera ditangani, proses ini akan berdekatan dengan pelaksanaan pemilihan pada 2029.
Titi juga menyoroti partisipasi masyarakat akan kurang optimum jika pembahasan RUU Pemilu tidak segera dilakukan. Keadaan yang terburu-buru ini, menurut dia, dapat memicu gugatan ke MK akibat ketidaksesuaian proses dan substansi dengan konstitusi.