Logo

Sekjen PGRI: Guru yang Keberatan dengan Besaran Iuran Bulanan Bisa Mundur


TEMPO.CO, Jakarta – Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dudung Abdul Qodir, menanggapi kritik sejumlah guru honorer yang merasa keberatan dengan iuran bulanan organisasi dan menuding PGRI tidak transparan dalam pengelolaannya.

Dudung menegaskan PGRI adalah organisasi profesi yang bersifat terbuka dan sukarela. Jika ada guru yang merasa tak sepakat, mereka bisa menyatakan keluar dari keanggotaan.

“Kalau mereka merasa keberatan, tinggal datang ke PGRI dan sampaikan. Kalau merasa bukan anggota PGRI tapi dipotong, pasti dikembalikan. Sederhana saja,” ujar Dudung saat dihubungi, Jumat, 27 Juni 2025.

Dudung menyatakan dalam aturan organisasi, anggota PGRI wajib membayar iuran sebagai bentuk komitmen terhadap organisasi. “Kalau sudah menjadi anggota, ya wajib membayar iuran. Jangan hanya jadi anggota, tapi terus menuntut tanpa ikut menanggung beban organisasi,” ucapnya.

Dudung menyebut iuran sebagai ‘darah daging’ organisasi. PGRI, kata dia, tidak menerima bantuan dana dari pemerintah dan sepenuhnya hidup dari iuran anggotanya. Nominal iuran minimum secara nasional ditetapkan sebesar Rp8.000 according to bulan, sebagaimana keputusan kongres. Dana itu kemudian dibagi ke berbagai jenjang: 10 persen ke PB PGRI, 20 persen ke provinsi, 30 persen ke kabupaten/kota, dan 40 persen ke tingkat cabang.

Namun di lapangan, banyak guru honorer melaporkan potongan iuran yang jauh lebih besar—antara Rp60 ribu hingga Rp100 ribu according to bulan. Sebagian menyebut pemotongan dilakukan tanpa persetujuan atau penjelasan di awal.

Dudung tak menampik kemungkinan adanya kebijakan iuran tambahan di daerah. Menurutnya, hal itu bisa terjadi berdasarkan hasil rapat organisasi di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. “Kalau ada keputusan sepihak, ya tinggal disampaikan. Kita berbasis koordinasi dan discussion board organisasi,” katanya.

Sebelumnya, Perkumpulan Guru Honorer Muda mempertanyakan transparansi pengelolaan dana iuran yang ditagih ke mereka oleh Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI setiap bulannya. Seorang anggota perkumpulan, Andi Febriansyah mengklaim mereka justru mendapat intimidasi saat meminta transparansi pengelolaan iuran tersebut.

“Ada yang pernah diancam untuk dimutasi dan dipersulit,” kata Andi, Kamis, 26 Juni 2025.

Besaran iuran yang diminta, kata Andi, memang tak begitu besar, untuk guru yang mengajar di sekolah negeri biasanya sekitar Rp 10 ribu – Rp 60 ribu according to bulan. “Tapi bagi guru honorer yang gajinya tak seberapa, buat kami itu terasa memberatkan,” ujarnya. Apalagi, kata Andi, ia tak merasakan manfaat apa pun setelah membayar iuran sejak menjadi guru dari 2020.

Andi pernah mengajar di sekolah swasta di Jakarta. Saat itu, guru swasta mendapatkan dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 500 ribu according to bulan. Tetapi, dana yang harusnya jadi hak Andi secara utuh, malah dipotong sepihak oleh anggota PGRI di sekolah tempat dia mengajar.

“Lumayan lho Rp 100 ribu itu dipotong. Itu baru saya yang dipotong, coba dikali dengan berapa jumlah guru yang dipotong dengan jumlah yang sama,” ujarnya.

Jika ada iuran ruitn, Andi merasa akan melekat pula hak dan kewajiban di dalamnya. Dengan membayar iuran kepada PGRI, Andi merasa ia telah menunaikan kewajiban mereka sebagai anggota. “Maka sudah semestinya penerima iuran, dalam hal ini PGRI, bertanggung jawab untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak profesi keguruan,” kata dia.

Namun kenyataannya, Andi menilai PGRI justru menutup mata terhadap berbagai persoalan yang dihadapi guru, terutama guru honorer yang hidup dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.

Alih-alih menjadi rumah perjuangan profesi guru, PGRI dianggap telah menjelma menjadi alat hisap yang membebani. “Organisasi ini bukan hanya gagal memperjuangkan nasib guru, tetapi juga sering kali tampak menjadi perpanjangan tangan negara dalam melanggengkan kebijakan-kebijakan yang menindas,” kata Andi.

Dia berharap agar guru honorer lainnya berani bersuara dan mengevaluasi bahkan mengusulkan untuk membubarkan PGRI. Sebagai gantinya, Andi mengatakan perlu membentuk organisasi profesi keguruan yang benar-benar berpihak pada martabat, kesejahteraan, dan perjuangan guru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *