Upaya Mencegah Kasus Intoleransi Seperti di Cidahu Terulang
TEMPO.CO, Jakarta – Retreat pelajar Kristen di Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 27 Juni 2025 berakhir ricuh. Puluhan orang merisak kegiatan tersebut
Dalam sebuah video yang dibagikan akun Instagram @sukabumisatu, terlihat puluhan orang menurunkan kayu salib dari tangga sebuah rumah. Mereka berteriak dan menghancurkan sejumlah kaca. Mereka juga menghancurkan meja-meja dan kursi di halaman rumah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) mengatakan kejadian di Cidahu merupakan pembubaran kegiatan retreat pelajar Kristen. Peristiwa itu terjadi di Kampung Tangkil RT 04/01, Desa Tangkil, pada Jumat 27 Juni 2025 sekitar pukul 14.00 WIB.
Setelah diselidiki, GAMKI Bogor mengatakan kegiatan ibadah dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga dengan alasan perizinan. Bahkan, diduga terjadi tindakan perusakan dan intimidasi terhadap para peserta yang sebagian besar adalah pelajar.
“Tetapi juga melanggar hak konstitusional setiap warga negara dalam menjalankan keyakinan dan agamanya,” kata Sekretaris DPD GAMKI Bogor Andry Simorangkir, dikutip dari situs resmi pada Senin, 30 Juni 2025.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan sebanyak tujuh orang telah ditetapkan tersangka atas peristiwa pembubaran paksa retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi pada Jumat, 27 Juni 2025 lalu.
Serangan intoleransi ini memancing perhatian Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Lewat akun Instagram-nya @dedimulyadi71, Dedi mengunggah ulang video tersebut disertai takarir mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib.
“Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan,” tulis Dedi Mulyadi, 1 Juli 2025.
Dalam unggahan video lain di hari yang sama, Polda Jawa Barat dan Polres Pelabuhan Ratu telah bergerak menindak perusuh.
“Berdasarkan informasi yang saya terima sudah ditetapkan sebanyak 7 tersangka perusakan rumah Ibu Nina yang berada di Desa Tangkil Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi,” tutur Dedi.
Dedi telah mengizinkan Tempo untuk mengutip pernyataan tersebut.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur prihatin atas kejadian tersebut. Isnur mengatakan peristiwa itu menjadi pekerjaan rumah bagi Kementerian Agama dan pemangku kepentingan lainnya.
“Ini tantangan bagaimana menciptakan rasa aman, adil, dan tak diskriminatif untuk seluruh penganut keyakinan beragama,” kata Isnur melalui pesan suara pada Senin, 30 Juni, 2025.
Isnur mengatakan undang-undang telah mengatur bagaimana masyarakat menghormati dan bisa menghargai hak orang lain dalam beribadah.
Ia mengingatkan aparat semestinya bisa cepat melakukan pencegahan peristiwa seperti ini. Isnur mengatakan pelaku kekerasan juga perlu ditindak oleh kepolisian sampai ke pengadilan. “Supaya jadi contoh, efek jera, supaya tidak terjadi seperti ini,” kata dia.
Dihubungi Tempo, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai memerintahkan stafnya untuk meninjau pembubaran retret pelajar Kristen di Cidahu, Jawa Barat. Pigai juga mengatakan akan terlebih dahulu memastikan laporan peristiwa ini.
“Tanpa laporan kami juga jalan,” kata Pigai melalui pesan pendek kepada Tempo pada Senin, 30 Juni 2025. “Saya perintahkan staf cek di sana. Jadi kami akan beri update.”
Komisi Nasional HAM dengan tegas mengecam keras pengusiran dan pembubaran paksa retret remaja di Kecamatan Cidahu.
Koordinator Subkom Penegakan HAM pada Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan tindakan itu melanggar prinsip bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk menjalankan ibadah dan keyakinannya dengan bebas dan damai. Hak beribadah dijamin dalam Pasal 28E dan Pasal 29 UUD NRI 1945 serta Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
“Tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul, serta hak atas rasa aman yang dijamin dalam konstitusi dan instrumen hak asasi manusia,” kata Pramono dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 2 Juli 2025.
Berdasarkan temuan awal Komnas HAM, kegiatan keagamaan yang dilakukan secara damai oleh sekelompok remaja Kristen dibubarkan secara paksa oleh sekelompok warga. Selain itu, terjadi pula perusakan terhadap rumah singgah, kendaraan, serta benda-benda simbol keagamaan, termasuk salib.
“Aparat penegak hukum harus bertindak tegas dalam menangani kasus ini, termasuk melakukan proses hukum terhadap pelaku pengusiran dan perusakan,” katanya. “Pembiaran terhadap tindakan intoleransi hanya akan memperkuat budaya impunitas dan melemahkan kepercayaan publik terhadap aparat negara.”
Joint Initiative for Strategic Religious Action atau JISRA Indonesia menyayangkan masih ada warga yang merasa terganggu dengan kegiatan agama lain. JISRA Indonesia terdiri dari sejumlah organisasi non-pemerintah pegiat kebebasan dan toleransi bergama, seperti Imparsial, Focal Point JISRA Indonesia, PeaceGeneration Indonesia, AMAN Indonesia, Yayasan Fahmina, Institut Mosintuwu, Jaringan GUSDURian, Nasyiatul Aisyiyah, dan Interfidei.
Koordinator Divisi Riset dan Publikasi Jaringan GUSDURian, Heru Prasetia, mengatakan peristiwa intoleransi telah mencederai semangat Pancasila, dan merusak makna hidup dan kehidupan bersama kita, hingga merusak makna kebhinekaan sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Ia mengatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan dijamin keberadaannya melalui Undang-Undang Dasar 1945.
“Peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa sebagian masyarakat kita masih memiliki sikap yang intoleran terhadap perbedaan agama/kepercayaan,” kata Heru dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 2 Juli 2025.
Heru mengatakan tindakan intimidasi dan persekusi yang dilakukan oleh warga Kampung Tangkil memperpanjang catatan kelam praktik kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan pembiaran yang diperlihatkan oleh pemerintah dan penegak hukum semakin menegaskan bahwa mereka tidak berdaya dan tunduk kepada kelompok-kelompok intoleran.
“Sikap Pemerintah semacam ini merupakan penyebab utama terjadinya pengulangan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Barat yang sering menempati posisi sebagai provinsi dengan tingkat toleransi yang rendah,” katanya.
Ardi mengatakan penegak hukum yang tidak responsif dalam menindak kejadian seperti ini telah memberikan sinyal bahwa pemerintah tidak berdaya di hadapan kelompok-kelompok intoleran.
Padahal, kata Ardi, sikap toleransi seharusnya diajarkan sejak dini dengan meruntuhkan segala prasangka yang tidak berdasar terhadap kelompok agama lain atau yang memiliki keyakinan atay kepercayaan yang berbeda.
Junaidi Simun, perwakilan dari JISRA Indonesia, mengatakan umumnya sikap intoleransi hadir karena prasangka atau tuduhan bahwa kelompok yang berbeda sedang melakukan kegiatan yang merugikan kelompok agama lain, seperti tuduhan sedang melakukan kristenisasi atau lain sebagainya.
“Pada tahap ini, dialog antar-agama atau keyakinan dapat menjadi jembatan terhadap prasangka tersebut,” kata Junaidi.
Atas kejadian di Cidahu, JISRA Indonesia meminta secara terbuka kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memberi perlindungan bagi setiap warga dalam setiap aktivitas peribadatan sesuai dengan agama atau kepercayaan yang diyakini setiap warga negara.
“Kami juga meminta kepada Kepolisian Daerah Jawa Barat untuk menginvestigasi dan menindak tegas pelaku yang melakukan pelanggaran hukum dan tindakan persekusi terhadap umat Kristiani di Cidahu,“ ujar Junaidi.
Untuk mencegah tindakan intoleransi serupa, Junaidi memandang negara perlu terlibat aktif dalam promosi toleransi. Salah satu langkah adalah mengadakan pendidikan untuk mengelola dan memaknai perbedaan di kalangan pemuka agama, tokoh masyarakat, guru dan akademisi, dan orang muda, terutama di tingkat akar rumput.
Menindaklanjuti insiden tersebut, Kementerian Agama segera menyusun regulasi khusus mengenai keberadaan dan tata kelola rumah doa di Indonesia. Sebab selama ini, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 menjadi rujukan pendirian tempat ibadah, namun belum secara eksplisit mengatur rumah doa yang bersifat privat dan digunakan terbatas.
“Rumah doa dalam praktiknya kerap digunakan sebagai ruang ibadah, namun tidak memiliki payung hukum yang jelas,” kata Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag, Muhammad Adib Abdushomad seperti dikutip dari Antara, Rabu 2 Juli 2025.
Kemenag telah dua kali menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan unsur lintas agama seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, PERMABUDHI, dan MATAKIN. Hasilnya, istilah rumah doa memang multitafsir dan tidak digunakan secara seragam.
Ia menyesalkan terjadinya pengrusakan tersebut. “Kami menolak segala bentuk kekerasan atas nama keberatan keagamaan. Konflik seperti ini semestinya diselesaikan lewat hukum dan dialog,” tegasnya.
Regulasi baru yang tengah disusun akan mengatur definisi rumah doa, klasifikasi, prosedur pelaporan, mekanisme mediasi, serta relasi dengan lingkungan sekitar. Kemenag juga akan memperkuat peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan mendorong kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah.
“Indonesia memerlukan tata kelola rumah ibadah yang tidak hanya administratif, tetapi juga mengedepankan musyawarah dan semangat toleransi,” ujar Adib.
Sebagai langkah antisipatif, PKUB Kemenag juga akan segera meluncurkan sistem deteksi dini konflik keagamaan berbasis Early Warning System (EWS) bekerja sama dengan lintas Direktorat Bimas dan pemangku kepentingan terkait.
Daniel Ahmad Fajri dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini