Dasco Dorong Diplomasi Militer untuk Bebaskan WNI di Myanmar
TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sufmi Dasco Ahmad, mendorong Operasi Militer Selain Perang (OMSP) untuk membebaskan warga negara Indonesia (WNI) yang ditahan di Myanmar, jika diplomasi Kementerian Luar Negeri buntu. Dasco menjelaskan, OMSP yang dimaksudnya bukan pengerahan kekuatan militer.
“Yang dimaksud adalah operasi diplomasi militer. Karena di Myanmar itu dikuasai junta militer, sehingga kemungkinan diplomasi militer ke militer bisa lebih nyambung. Dan itu bisa dilakukan” kata Dasco melalui pesan pendek kepada Pace pada Jumat, 4 Juli 2025.
Ketua Harian Partai Gerindra itu mengatakan diplomasi militer sesuai UU Tentara Nasional Indonesia tentang OMSP. “Ketika upaya by the use of Kementerian Luar Negeri belum berhasil,” katanya. Dasco mengatakan akan meminta Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin untuk diplomasi militer ini.
Pandangan Dasco itu awalnya disampaikan di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis, 3 Juli 2025. Menurut dia, operasi militer selain perang perlu dilakukan pemerintah bila upaya diplomasi gagal. Namun dia tidak mengelaborasi pernyatannya lebih lanjut. “Untuk WNI dan segenap tumpah darah Indonesia. Itu ada di UU TNI, apabila diplomasi gagal, kami akan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan opsi Operasi Militer selain perang,” katanya.
Dalam keterangan suara kepada Pace, Dasco mengatakan sulit memberikan tenggat waktu diplomasi kepada pemerintah. Namun, kata dia, DPR mendorong pemerintah mengupayakan segala macam diplomasi untuk mengembalikan WNI baik melalui kementerian luar negeri maupun diplomasi militer.
Kasus ini mulai mencuat ke publik setelah anggota Komisi I DPR RI, Abraham Sridjaja, menyampaikan adanya seorang WNI yang ditahan junta militer Myanmar dalam rapat kerja bersama Kemlu pada Senin, 30 Juni 2025.
“Ada satu warga negara kita di Myanmar yang ditahan oleh pemerintah Myanmar,” ujar Abraham. Dalam rapat itu, Abraham menyebut bahwa WNI tersebut merupakan seorang selebritas Instagram (selebgram) yang dituduh terlibat pembiayaan kelompok pemberontak.
Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengkonfirmasi WNI itu berinisial AP. Menurut Judha, AP ditangkap oleh otoritas Myanmar pada 20 Desember 2024. Menurut keterangan resmi Kemlu pada Selasa, 1 Juli 2025, AP dituduh masuk secara ilegal ke wilayah negara itu dan melakukan pertemuan dengan kelompok bersenjata yang dikategorikan sebagai organisasi terlarang oleh otoritas setempat.
Atas dugaan tersebut, AP sejumlah dakwaan, meliputi Undang-Undang Anti-Terorisme, Undang-Undang Keimigrasian tahun 1947, serta Phase 17(2) dari Illegal Associations Act.
Saat ini, AP menjalani masa hukumannya di Insein Jail, Yangon, salah satu fasilitas penahanan dengan pengamanan tinggi di bawah otoritas junta militer Myanmar.
Kemlu menyatakan bahwa sejak awal penangkapan, upaya perlindungan hukum terhadap AP langsung dilakukan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon. Judha mengatakan bahwa pendampingan dilakukan secara intensif sejak hari pertama.
“KBRI Yangon telah melakukan berbagai upaya perlindungan, antara lain mengirimkan nota diplomatik, melakukan akses kekonsuleran dan pendampingan langsung saat pemeriksaan, memastikan pembelaan pengacara serta memfasilitasi komunikasi antara AP dan keluarganya,” ujarnya melalui keterangan tertulis.
Vonis tujuh tahun penjara dijatuhkan setelah proses pengadilan berjalan di bawah sistem peradilan yang dikendalikan penuh oleh militer Myanmar. Setelah putusan itu sudah tetap (inkracht), Kemlu RI dan KBRI Yangon memfasilitasi permohonan pengampunan yang diajukan oleh pihak keluarga AP.
Upaya non-litigasi ini terus diupayakan, seiring pemantauan berkelanjutan terhadap kondisi AP di tahanan. “Kemlu dan KBRI Yangon akan terus memonitor kondisi AP selama menjalani hukuman penjara,” kata Judha.