Sikapi Putusan MK, Kader PKB Ingin Jabatan DPRD Diperpanjang
TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Keadilan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, berpendapat putusan Mahkamah Konstitusi seringkali memicu kontroversi. Tapi putusan MK tersebut tetap harus dilaksanakan karena bersifat ultimate dan mengikat. Salah satu putusan MK yang dimaksud adalah pemisahan penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.
Ia mengatakan, saat Mahkamah Konstitusi memutuskan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah, kader PKB di daerah berharap anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mengubah opsi perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tertuang dalam putusan MK. Pertimbangan mereka, anggota DPRD memiliki bonus masa jabatan selama dua tahun ketika terjadi perpanjangan masa jabatan anggota DPRD periode 2024-2029. Namun masalahnya, kata dia, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD itu harus disertai dengan merevisi Undang-Undang Pemilu.
Meski begitu, “Saya tidak mengatakan putusan MK tidak kami akui, tapi putusan ini tidak bisa dibanding lagi, sudah ultimate. (Tapi putusannya) kontroversi,” kata Jazilul di kompleks DPR, Jakarta, pada Jumat, 4 Juli 2025.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu pada Kamis, 26 Juni 2025. Pasal-pasal itu antara lain Pasal 1 ayat (1), 167 ayat (3), 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Pasal-pasal ini mengatur pemilihan umum secara serentak, baik anggota DPR, DPRD, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemilihan presiden dan wakil presiden, serta mengatur pelaksanaan pemilu setiap lima tahun.
Pemohon, yaitu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta agar layout pemilihan serentak diubah. Penyelenggaraan pemilu serentak seharusnya adalah pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional meliputi pemilihan presiden serta pemilihan anggota DPR dan DPD. Lalu pemilu serentak daerah adalah pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD. Pemilu serentak nasional diminta agar digelar pada 2029, sedang pemilu serentak daerah pada 2031.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan perkara nomor 135/PUU-XXII/2024. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan tahapan pemilihan yang berdekatan menyebabkan minimnya waktu bagi masyarakat menilai kinerja pemerintahan, baik dari unsur eksekutif maupun calon anggota legislatif.
Saldi mengatakan tahapan pemilu nasional atau daerah yang berada dalam rentang waktu kurang dari satu tahun dengan pilkada berimplikasi pada stabilitas partai politik. Implikasi itu dikhawatirkan menyebabkan partai politik kehilangan kemampuan mempersiapkan kader yang kompeten untuk mengikuti kontestasi. Tahapan pemilu yang berdekatan juga menyebabkan isu daerah tenggelam oleh isu nasional.
“Di tengah isu dan masalah pembangunan, yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat harus tetap jadi yang utama,” kata guru besar hukum tata negara Universitas Andalas itu.
Jazilul Fawaid berpendapat, selain putusan tersebut, sejumlah putusan MK lainnya juga menuai kontroversi. Misalnya, putusan MK mengenai uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden, serta putusan MK atas uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Soal batas usia calon presiden dan wakil presiden, MK menambahkan syarat alternatif yaitu berusia 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Selanjutnya, uji matreri Pasal 34 ayat 2 itu, MK memerintah agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah menggratiskan sekolah negeri dan swasta dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama.
“MK memang memiliki kewenangan untuk memutuskan, itu high-quality. Tapi MK itu open felony coverage, dad or mum of charter, bukan hanya menjaga, tapi ikut mengatur pula,” kata Jazilul.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Netgrit —organisasi nonpemerintah yang konsen pada isu kepemiluan— Hadar Nafis Gumay mengatakan pemisahan penyelenggaraan pemilu merupakan angin segar dalam upaya penataan pemilu agar lebih berkualitas. Adanya jeda dari pemilu serentak nasional ke pemillu serentak daerah akan memberi ruang kepada pemilih untuk berfokus dan memahami visi-misi para calon yang akan dipilih tanpa harus terdistraksi oleh isu nasional.
Ia menilai, putusan MK itu menjadi kontroversi akibat sikap DPR yang belum memberikan sinyal untuk segera membahas revisi Undang-Undang Pemilu dalam waktu dekat. Anggota DPR justru sibuk berdalih bahwa mereka sedang mempelajari atau mengkaji dampak dari putusan tersebut. Padahal DPR sudah menempatkan revisi Undang-Undang Pemilu dalam program legislasi nasional 2025-2029. “Seharusnya revisi itu bisa terdorong oleh putusan MK ini,” kata Hadar.
Pilihan Editor: Kenapa Sekolah Swasta Waswas Menghadapi Ptusan MK