Mengapa Fraksi-fraksi di Senayan Sudutkan MK setelah Putusan Pemisahan Pemilu?
TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah legislator mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan lokal. Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Rifqinizamy Karsayuda menilai MK mengambil alih “tugas konstitusional” DPR dan pemerintah untuk membentuk norma dalam undang-undang.
Pilihan editor: Tak Ada Lagi Turis di Jalan Jaksa. Mengapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Penindaklanjutan dari putusan MK adalah bagian dari pelanggaran konstitusi itu sendiri,” kata Rifqi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 7 Juni 2025. Politikus Partai NasDem itu menegaskan pandangan tersebut merupakan pendapat fraksi, bukan Komisi II maupun institusi DPR.
Rifqi menilai pemisahan pemilu dan pilkada kontradiksi dengan putusan perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberi DPR wewenang untuk menentukan satu dari enam model keserentakan pemilu.
Rifqi menilai MK tidak konsisten dengan putusannya. Mantan Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menilai putusan MK yang memberikan jeda waktu 2-2,5 tahun antara pemilu nasional dan lokal inkonstitusional.
“Saya secara pribadi tidak akan pernah melakukan proses itu,” kata dia soal peluang perpanjangan masa jabatan DPRD imbas putusan MK.
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah.
Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Partai Keadilan Sejahtera atau PKS juga mengambil posisi yang sama dengan NasDem. Ketua Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengatakan perubahan fundamental terhadap norma-norma konstitusi seharusnya menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang Dasar. Zainudin menyebut bahwa melalui putusan ini, MK telah melangkah terlalu jauh.
Zainudin menilai MK tidak konsisten mengenai pilkada masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau kepemiluan. Dia juga menilai bahwa keterpilihan anggota DPRD adalah hasil dari pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.
“Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional,” katanya dikutip dari situs resmi PKS, 2 Juli 2025.
Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani juga menentang putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu menilai keputusan mahkamah ini berpotensi mengacaukan desain pemilu yang sebelumnya telah ditetapkan MK sendiri melalui putusan tentang pemilu serentak.
Partai Gerindra memandang perubahan ini akan menciptakan ketidakpastian hukum dan kebingungan dalam pelaksanaan pemilu ke depan. Muzani secara khusus menyoroti pelaksanaan pilkada dan pemilihan DPRD yang dilakukan dua setengah tahun setelah pemilihan presiden dan DPR. Anggota Komisi I DPR ini menilai situasi ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan konstitusi.
“Pertanyaannya, apakah keputusan ini tidak justru bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan pemilihan dilakukan setiap lima tahun?” kata Muzani pada Sabtu, 5 Juli 2025, dikutip dari situs resmi Gerindra.
Dosen ilmu politik Universitas Islam Negeri Jakarta, Adi Prayitno, mengatakan Putusan MK tampak membuat politikus Senayan sebal dan njlimet. Adi menilai Putusan MK memisahkan pemilu nasional dan lokal itu dalam banyak hal merugikan mereka.
“Njlimet karena begitu banyak UU yang terdampak dari putusan MK yang mesti direvisi seperti UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah,” kata Adi melalui pesan tertulis pada Senin, 7 Juli 2025. Menurut dia, DPR saja belum menindaklanjuti putusan MK mengenai penghapusan ambang batas pencalonan presiden.
Adi menegaskan, politikus Senayan suka tebang pilih soal putusan MK. Direktur Parameter Politik Indonesia ini mengungkit putusan MK nomor 90 soal syarat minimal umur maju calon presiden yang dinilai menabrak etika konstitusi.
Adi mengatakan legislator itu tidak ribut saat ada putusan MK ada yang menguntungkan kelompoknya. Menurut Adi, implikasi paling merepotkan Putusan MK itu memang skenario soal status DPR yang bakal habis di 2029. Sementata pemilihan daerah masih di 2031.
Adi mengatakan kekosongan semacam itu menimbulkan kekhawatiran akut. “Sulit membayangkan ratusan DPRD ditunjuk pelaksana tugas, misalnya. Begitu pun jika jabatannya diperpanjang otomatis, secara politik legitimasinya sangat lemah,” katanya.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. juga mengatakan masa transisi pemilihan DPRD menjadi salah satu masalah imbas putusan MK. Mantan ketua MK itu menjelaskan, belum ada peraturan yang mengatur pengganti anggota DPRD yang habis masa jabatannya.
Kekosongan hukum untuk anggota DPRD yang masa jabatannya habis itu berbeda dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam UU, bila masa jabatan mereka habis, masih bisa diganti seorang penjabat sampai dilakukan pilkada.
Terlepas masalah dan kerumitan tata hukum, Mahfud menilai dalam putusan MK juga dicantumkan solusi mengatasinya. “Masa transisi yang rumit itu harus diatur dengan undang-undang,” kata Mahfud ditemui di Jakarta pada Ahad, 6 Juli 2025. Dalam hal ini, pembuat undang-undang harus mengatur masa transisi bagi DPRD. Pun membuat undang-undang bagi pemilihan kepala daerah.
Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menegaskan sampai saat ini belum ada sikap resmi dari DPR mengenai putusan MK. Politikus Partai Demokrat itu menegaskan DPR masih mencermati pro-kontra di masyarakat mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal ini.
Dede mengatakan DPR tak mau mengambil langkah berdasarkan keputusan-keputusan lainnya di atas konstitusi. “Ini bukan soal siapa diuntungkan atau siapa dirugikan. Karena kalau kami mau dipisah okay, nggak dipisah juga okay,” katanya di DPR pada Senin, 7 Juli 2025.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan lembaganya akan berhati-hati menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan daerah. Dasco mengatakan DPR tidak mau terlalu cepat melakukan rekayasa konstitusi.
“Ya ini kan menyangkut juga keputusan penting. Jadi kita perlu diskusi, bikin simulasi,” kata Dasco melalui pesan suara kepada Tempo pada Senin, 30 Juni 2025. Pernyataan ini disampaikan Dasco setelah rapat koordinasi bersama pemerintah, pimpinan DPR, pimpinan Badan Legislasi DPR, pimpinan Komisi II, pimpinan komisi III, hingga Perludem.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal telah mendorong constitutional engineering atau rekayasa konstitusi. Khoirunnisa mengatakan rekayasa konstitusi dimaksudkan untuk merevisi UU Pemilu dan Pilkada.
“Seharusnya justru kalau memang dianggap ada kerumitan atau implikasi lainnya maka perlu segera dilakukan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” kata Khoirunnisa saat dihubungi pada Senin, 7 Juli 2025. Dia menegaskan dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 model keserentakan juga telah tercantumkan.
Khoirunnisa mengatakan tugas MK adalah menafsirkan konstitusi. Sehingga putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal tidak bisa dikatakan inkonstitusional. “Untuk soal transisi masa jabatan, ini yang harus menjadi diskusi oleh pembentuk undang-undang untuk mencari bagaimana bentuknya,” kata dia.
Pilihan editor: 100 Gedung Sekolah Rakyat Belum Permanen