Logo

Aktivis Nilai Polusi Udara Jakarta Sudah Masuk Fase Kronis


TEMPO.CO, Jakarta – Aktivis lingkungan menilai polusi udara di Jakarta dan sekitarnya sudah memasuki fase kronis. Selama sepuluh tahun terakhir, kata mereka, kualitas udara Jakarta berada dalam kategori tidak sehat dengan konsentrasi tahunan PM2.5 mencapai 46,1 mikrogram according to meter kubik, lebih dari tiga kali lipat batas aman nasional.

Mereka menganggap kondisi ini sudah darurat. “Polusi udara di Jakarta sudah masuk kategori tidak sehat selama sepuluh tahun terakhir, dan ini bukan lagi situasi yang bisa dianggap wajar,” kata Koordinator Aliansi Udara Bersih dan Jaringan Rebut Kembali Langit Biru Amalia S. Bendang kepada Pace, Selasa, 8 Juli 2025.

Ia merujuk knowledge Laboratorium Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang mencatat rata-rata konsentrasi tahunan polutan PM2.5 sebesar 46,1 mikrogram according to meter kubik, lebih dari tiga kali lipat ambang batas baku mutu udara ambien nasional sebesar 15 mikrogram according to meter kubik. Menurut Amalia, kondisi ini mencerminkan krisis udara yang sudah kronis dan belum ditangani serius oleh pemerintah.

PM2,5 adalah partikel yang mengambang di udara dengan ukuran diameter 2,5 mikrometer atau kurang. Karena berukuran mikro, partikel tersebut dapat terserap ke aliran darah saat bernapas dan mengakibatkan berbagai penyakit, termasuk serangan asma hingga kerusakan jaringan paru-paru.

Amalia mengatakan bahwa pencemaran udara sudah kronis. Ia merujuk knowledge Laboratorium Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta serta laporan UNEP tahun 1992. “Laporan itu menyebut Jakarta sebagai kota ketiga paling tercemar di dunia setelah Mexico Town dan Bangkok. Tapi sayangnya, sampai hari ini, kondisi udara kita justru makin memburuk dan belum ada perubahan signifikan dari sisi pengendalian sumber pencemarnya,” ujar Amalia.

Adapun Saibtullah Kadir dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyebut krisis udara bersih sebagai persoalan sosial. “Udara bersih adalah hak paling dasar setiap manusia. Tapi dengan kualitas udara Jakarta yang sering melebihi bahkan lima kali lipat standar WHO, seakan-akan sudah wajar kalau kita masuk nominasi ibu kota terpolusi dunia,” kata Saibatullah kepada Pace pada Senin, 7 Juli 2025.

Ia menyoroti distribusi BBM berkadar sulfur tinggi sebagai akar masalah. “Bensin dengan kadar sulfur 500 ppm dan sun hingga 3500 ppm masih digunakan. Padahal, teknologi kendaraan sekarang butuh BBM maksimal 50 ppm sesuai standar Euro 4–6,” kata Saibatullah.

Saibtullah juga menyoroti pertumbuhan kendaraan Jakarta yang melonjak 5,27 kali lipat sejak 2005. “Lebih dari 70 persen kendaraan di Jakarta adalah kendaraan usang yang belum memenuhi standar emisi fuel buang,” ujar dia.

Menurutnya, perbaikan kualitas udara tidak bisa dilakukan parsial. “Persebaran polusi itu sulit dikontrol, tapi penggunaannya bisa. Penetapan standar produksi dan distribusi BBM yang ketat adalah langkah konkret yang bisa dimulai sekarang,” ujar dia.

Tingginya paparan polusi udara secara terus-menerus ini, telah membawa dampak serius terhadap kesehatan masyarakat. “ISPA di Jakarta mencapai 2,7 juta kasus. Asma 1,4 juta. Pneumonia 373 ribu. Bronchopneumonia 214 ribu. Kanker nasofaring 20 ribu kasus, dengan 13 ribu kematian,” ujarnya, mengutip knowledge tahun 2022. Ia menambahkan, pencemaran udara juga berdampak pada meningkatnya kasus jantung iskemik, gagal ginjal, hipertensi, hingga tremor, sehingga menimbulkan beban kesehatan serius bagi masyarakat.

Adapun, Situs pemantau kualitas udara IQAir mencatat kandungan konsentrasi partikulat (PM2,5) udara Jakarta pada 3 Juli 2025 pernah mencapai 70,7 mikrogram according to meter kubik udara (µg/m³). Jumlah itu jauh melebihi rekomendasi rata-rata udara sehat tahunan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 µg/m³.

Ada beberapa sumber utama meningkatnya kandungan PM2,5 di kota-kota besar seperti Jakarta. Menurut laporan penelitian Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta yang bekerja sama dengan Essential Methods pada 2020, beberapa sumber polutan utama di antaranya pembakaran batu bara, pembakaran terbuka, dan asap knalpot kendaraan.

Pilihan Editor: Polusi Udara Jakarta: Mengapa Tak Kunjung Pergi

Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *