Logo

Uji Materi UU MD3, Saksi Ahli Sebut Parpol Tak Punya Kesadaraan Gender


TEMPO.CO, Jakarta – Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia Anna Margret mengatakan partai politik tidak punya kesadaran mengenai kesetaraan gender. Hal itu dia sampaikan dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mengenai norma keterwakilan perempuan pada alat kelengkapan dewan (AKD) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa, 8 Juli 2025.

“Dalam riset sejak tahun 2013, kami mempublikasikan paradoks keterwakilan perempuan, di mana perempuan anggota DPRD di 3 provinsi, justru hambatan terbesar datang dari partai,” ujar Anna dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi.

Anna mengatakan banyak anggota perempuan DPRD yang justru tidak diizinkan untuk menempati komisi yang menjadi bidang dan keahliannya. “Artinya memang ada paradoks ketika partai yang ditugaskan, diamanahkan oleh berbagai undang-undang untuk menjadi agensi utama menjalankan kebijakan afirmasi, ternyata tidak punya kesadaran dan komitmen untuk kesadaran gender,” ujar Anna.

Dia menambahkan, prinsip kesetaraan haruslah ditegakkan dalam negara demokrasi. Jika prinsip ini tidak dijalankan, tidak mungkin akan menghasilkan keadilan atau pun netralitas.

“Kami akan menambahkan knowledge bahwa dalam sistem pemilu terbuka justru suara yang diberikan kepada perempuan itu terus naik secara konsisten meski kecil. Tidak satu kali pun trennya turun,” kata dia.

Dalam perkara ini, para pemohon menilai sejumlah ketentuan dalam UU MD3 telah merugikan hak konstitusional perempuan, khususnya soal keterwakilan dalam alat kelengkapan dewan. Mereka menyoroti minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan AKD periode 2024-2029 yang belum memenuhi ambang batas 30 persen.

Sejumlah pasal yang diuji adalah Pasal 90 ayat (2), Pasal 96 ayat (2), Pasal 108 ayat (3), Pasal 120 ayat (1), Pasal 151 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (1) UU MD3. Para Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut ditafsirkan secara konstitusional untuk menjamin keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, baik di stage pimpinan AKD maupun dalam distribusi anggota fraksi di seluruh badan DPR.

Menurut pemohon, ketimpangan ini mencerminkan adanya hambatan struktural yang menghalangi partisipasi perempuan secara inklusif dalam politik. Mereka berharap Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan menafsirkan ketentuan tersebut secara konstitusional untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam struktur parlemen.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *