Logo

Tokoh Suku Awyu Mengadu ke Pelapor Khusus PBB: Kami Ingin Hidup Damai


TEMPO.CO, Jayapura – Hendrikus Woro, perwakilan masyarakat suku Awyu yang terdampak ekspansi perkebunan sawit di hutan Papua, mengadu langsung kepada Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume. Hendrikus, salah satu tokoh sentral dalam penolakan perampasan tanah ulayat, hadir dalam kunjungan casual pelapor khusus PBB di Jayapura, Provinsi Papua, pada 4 hingga 5 Juli 2025.

Hendrikus menegaskan bahwa masyarakat adat Papua tidak menuntut apa pun dari pemerintah. “Kami hanya ingin hidup aman dan damai di atas kami punya tanah,” ucap Hendrikus kepada Barume di Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, pada Jumat, 4 Juli 2025.

Suku Awyu berkukuh mempertahankan tanah ulayat karena prinsip dari leluhur bahwa manusia berasal dari tanah. Sehingga, tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan. Ia berujar, masyarakat adat berdiri di Tanah Papua berdasarkan garis keturunan. “Ini tanah leluhur yang memberikan warisan, kami terus hidup di atas tanah itu,” kata Hendrikus.

Hendrikus pun mengaku khawatir konflik horizontal bakal terjadi akibat ekspansi sawit di Tanah Papua. Menurut dia, banyak nyawa yang akan menjadi korban apabila proyek itu terus dijalankan. “Pelanggaran HAM banyak sekali terjadi di Papua. Kalau tidak dipulihkan dari sekarang, konflik akan timbul dan negara sendiri akan pusing,” kata dia.

Dia menegaskan bahwa tanpa sawit, tambang, maupun proyek strategis nasional (PSN) lainnya, masyarkat adat Papua masih bisa menjalankan kehidupan. Tetapi tanpa hutan adat, mereka tak bisa hidup. “Kami bisa punah. Tolong sayangilah tanah kami,” ucap dia.

Adapun perjuangan penolakan ekspansi sawit itu sempat ramai di media sosial dengan tagar khas All Eyes on Papua pada pertengahan Juni 2024 lalu. “Maka waktu itu saya bilang supaya negara-negara di dunia harus fokus, lihat kami Papua,” ujar Hendrikus. 

Albert Kwokwo Barume, pelapor khusus PBB untuk isu masyarakat adat, melawat ke Jayapura, Provinsi Papua, pada 4 hingga 5 Juli 2025. Dalam pertemuan dua hari yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini, Barume menampung dan mencatat keluh kesah masyarakat adat Papua yang terdampak proyek strategis nasional. 

Lawatan ke Papua ini merupakan kunjungan tak resmi yang disebut juga sebagai “kunjungan akademik”. Menurut Barume, bila berkunjung tanpa adanya undangan resmi dari pemerintah negara yang bersangkutan, maka yang bisa ia lakukan selama kunjungan itu cukup terbatas.

Ada hal yang tak bisa ia katakan dan juga lakukan. “Tapi saya bisa mendengar saya bisa melihat, dan saya pikir itu cukup,” ucap Barume di hadapan masyarakat adat Orang Asli Papua (OAP), di Jayapura, Papua, pada Jumat, 4 Juli 2025. 

Pada unofficial talk over with seperti ini, Barume tidak dapat memberikan komentar atas situasi negara. Artinya, dia memiliki keleluasaan untuk melihat kondisi dan mendengar pengalaman masyarakat adat, tetapi tidak bisa melakukan penilaian terhadap pemerintah. 

Albert pun mendorong masyarakat adat yang hadir untuk bicara dengan dirinya mengenai kondisi yang selama ini mereka alami. “Jika Anda bertanya tentang Indonesia, saya tidak akan dapat menjawab. Tetapi Anda dapat mengatakan apa saja karena Anda lebih bebas daripada saya,” kata dia. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *