Dua Jenis Korupsi Menurut Dedi Mulyadi
TEMPO.CO, Jakarta – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai ada dua jenis korupsi yang kerap terjadi di Indonesia. Keduanya adalah korupsi struktural dan korupsi kultural.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, korupsi struktural adalah tindakan yang dilarang secara hukum. “Ada korupsi struktural yang melanggar pasal, diancam dengan pidana, didakwa, dan dituntut, karena itu merugikan negara,” kata Dedi saat menghadiri rapat koordinasi pemberantasan korupsi bersama Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di Ancol, Jakarta Utara pada Kamis, 10 Juli 2025.
Sementara itu, dia berujar korupsi kultural adalah tindakan yang dianggap criminal, namun sesungguhnya merugikan negara. Contohnya, Dedi menyebut pemborosan anggaran sebagai salah satu bentuk korupsi kultural.
Dedi berujar pemborosan itu masih kerap terjadi di tanah air. “Di mana itu letaknya? Letaknya adalah negeri ini masih kuat inefisiensi,” tutur mantan bupati Purwakarta periode 2008-2018 itu.
Dedi memberi contoh inefisiensi anggaran kerap terjadi dalam belanja perjalanan dinas para pejabat negara. Dia secara khusus menyoroti perjalanan dinas para anggota DPR yang dia anggap boros.
Dia berujar inefisiensi biaya perjalanan dinas anggota DPR terjadi karena para legislator kerap mengajak orang lain untuk mendampingi mereka. “Satu anggota DPR berangkat, yang mendampinginya bisa tujuh orang. Sudah habis tujuh tiket pesawat, tujuh tiket kereta api, tujuh kamar resort,” kata Dedi seperti dikutip dari siaran YouTube KPK.
Maka dari itu, Dedi mendorong perbaikan dalam sistem penganggaran di DPR. Dia mengusulkan agar KPK ikut memikirkan struktur keuangan yang digunakan para legislator agar lebih adil dan transparan.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah pernyataan Dedi Mulyadi. Menurut Dasco, tidak ada satu pun legislator Senayan yang melakukan perjalanan dinas dengan membawa pendampingnya.
“Anggota DPR atau DPRD? Kalau DPR tidak ada yang membawa satu orang, atau tujuh orang,” ujar Ketua Harian Partai Gerindra itu. “Tidak ada mata anggarannya itu.”
Decylia Eghline berkontribusi dalam penulisan artikel ini