Sound Horeg: Fatwa Haram dan Potensi Kekayaan Intelektual
TEMPO.CO, Jakarta – Fenomena sound horeg belakangan makin disoroti, terutama setelah munculnya fatwa haram. Pada 26–27 Juni 2025, Pondok Pesantren Besuk di Pasuruan, Jawa Timur, menggelar pertemuan Discussion board Satu Muharram (FSM) yang menghasilkan fatwa haram sound horeg.
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh memahami langkah tersebut sebagai upaya pencegahan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan. “Fatwa itu bersifat kontekstual untuk kepentingan kemaslahatan,” katanya, pada Kamis, 10 Juli 2025.
Menurut Asrorun, selain menyebabkan gangguan kesehatan akibat kebisingan yang melampaui batas wajar, sound horeg juga kerap dikaitkan dengan kegiatan pesta minuman keras dan perilaku tidak senonoh. Gangguan dari suara ekstrem ini bahkan dilaporkan bisa merontokkan genteng rumah warga.
Apa Itu Sound Horeg?
Sound horeg istilah yang merujuk hiburan keliling menggunakan sistem suara berdaya tinggi, yang dianggap sebagian kalangan sebagai hiburan rakyat yang meriah. Akan tetapi, praktik ini memunculkan polemik yang terus disoroti mengenai terkait ketertiban umum dan pengaruhnya terhadap kesehatan pendengaran.
Radius Setiyawan, dosen kajian media dan budaya Universitas Muhammadiyah Surabaya, memandang dua hal terhadap sound horeg. “Sebagai ekspresi budaya populer, ia tetap punya nilai artistik dan potensi kreatif. Tapi, ketika tidak dibarengi dengan edukasi, regulasi, dan sensitivitas sosial, ia bisa menjadi bentuk gangguan sosial alih-alih sarana hiburan,” katanya, menurut situs internet Universitas Muhammadiyah Surabaya. Radius mafhum quantity yang ekstrem menjadi keluhan utama masyarakat, terutama di kawasan padat penduduk, dekat rumah ibadah, atau pada malam hari.
Fatwa Haram Sound Horeg
Fatwa haram yang dikeluarkan oleh FSM Pasuruan tersebut berdasarkan discussion board diskusi keagamaan yang melibatkan para kiai dan santri atau bahtsul masail. Muhib Aman Ali, selaku pimpinan Ma’had Aly Pondok Pesantren Besuk, menjelaskan keputusan tersebut tidak muncul secara mendadak. “Sound horeg sudah sangat meresahkan, khususnya di wilayah Jawa Timur seperti Pasuruan dan Malang, sejak masa pascapandemi,” katanya, menurut situs internet MUI.
Muhib menjelaskan, fatwa ini tidak bermaksud mematikan sektor ekonomi, khususnya usaha penyewaan sound device. Ia membedakan antara sound device yang digunakan dalam acara pernikahan dengan sound horeg yang dimaksud dalam fatwa. “Yang kami fatwakan haram adalah pertunjukan keliling yang memenuhi tiga kriteria tadi,” katanya.
Dalam discussion board tersebut, disimpulkan tiga alasan utama munculnya fatwa haram.
1. Mengganggu dan Menyakiti Orang Lain
Suara yang ditimbulkan sangat keras, mengganggu kenyamanan, dan bahkan dapat menimbulkan dampak fisik.
2. Mengandung Kemungkaran
Dalam banyak kasus, pertunjukan ini menampilkan joget tidak senonoh, pergaulan bebas, dan konsumsi alkohol.
3. Merusak Ethical Generasi Muda
Anak-anak yang ikut menonton pertunjukan ini berisiko terpapar konten yang tidak mendidik dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Pertimbangan mengenai Kekayaan Intelektual
Menurut Agung Damarsasongko, selaku Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), penting untuk membedakan antara kreativitas yang patut dilindungi dan praktik yang merugikan masyarakat. “Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi kekayaan intelektualnya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat,” kata Agung, pada 30 April 2025, seperti dikutip situs internet DJKI.
Ia menjelaskan bahwa dalam sound horeg terdapat beberapa objek Kekayaan Intelektual (KI) yang bisa saja dilindungi. Misalnya, teknologi pengeras suara bisa dipatenkan, desain peralatan bisa didaftarkan. Ini sebagai desain industri jika mengandung kebaruan.
Adapun musik remix yang dimainkan wajib menghormati hak ethical dan ekonomi pencipta lagu asli. “Musik remix yang diputar, ini dapat dilindungi hak ciptanya dengan tidak meninggalkan hak ethical dan hak ekonomi para pemilik karya yang diremix. Dalam artian, musisi yang membuat musik remix ini harus membayar royalti dan atau meminta izin terlebih dahulu atau kepada para pemilik lagu yang mereka gunakan,” kata Agung.