Koalisi Seni: Diskusi Soal Penetapan Hari Kebudayaan Hanya Formalitas
TEMPO.CO, Jakarta – Perhimpunan Koalisi Seni menilai Kementerian Kebudayaan tidak menempuh proses yang layak dan transparan dalam menetapkan hari kebudayaan nasional. Manajer Advokasi Koalisi, Seni Hafez Gumay, mengatakan sejumlah diskusi yang diklaim Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah digelar sejak Januari pun terkesan seperti formalitas semata demi menggugurkan prasyarat.
Tak hanya dalam menetapkan hari kebudayaan, Menurut Hafez, rezim saat ini memang kerap melakukan gimik-gimik semacam itu dalam berbagai macam pengambilan keputusan. “Kita juga bisa menilai bahwa konsultasi yang dilakukan itu tidak benar-benar dilakukan secara sirkuler. Dan itu hanya dilakukan kadang-kadang di satu kota hanya di Yogyakarta misalnya,” kata dia melalui Zoom Assembly pada Selasa, 15 Juli 2025.
Hafez pun mencontohkan berbagai macam trik yang banyak digunakan pemerintah untuk minimalisir intervensi masyarakat dalam membuat keputusan. Misalnya, sengaja mengundang pihak yang sudah dipastikan tidak akan berani kritis saat uji publik, atau tak jarang menggelar diskusi di waktu-waktu yang tidak strategis. “Di titik ini kementerian bisa bilang bahwa mereka sudah melakukan konsultasi dengan masyarakat,” kata dia.
Selain prosesnya yang tidak layak, Hafez mengatakan Koalisi Seni tidak begitu mempersoalkan penetapan hari kebudayaan yang bertepatan dengan hari kelahiran Presiden Prabowo Subianto. Terlepas dari apa pun alasan yang menjadi pertimbangan pemerintah, menurut Hafez yang paling penting adalah bagaimana penguasa menjamin penetapan hari kebudayaan dapat membawa dampak siginifikan terhadap sektor kebudayaan Indonesia.
“Apa esensi dari penetapan hari-hari semacam itu kalau tidak disertai dengan kebijakan yang lebih baik.” Hafez menyebut selama ini belum melihat ada kebijakan konkret dari Prabowo dan kabinet yang benar-benar berpihak kepada para seniman dan budayawan.
Adapun Fadli Zon menetapkan 17 Oktober sabagai hari kebudayaan nasional pada Senin, 7 Juli 2025. Keputusan ini mendapat banyak spekulasi negatif lantaran hari itu bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Adapun kepala negara lahir pada 17 Oktober 1951.
Fadli beralasan tanggal itu merupakan hari dimana Bhineka Tunggal Ika resmi menjadi semboyan bangsa. Ia juga mengklaim kebijakan diambil setelah para pengusul yang terdiri dari perkumpulan budayawan Yogyakarta melakukan kajian sejak Januari 2025. “Lalu disampaikan ke Kementerian Kebudayaan setelah beberapa kali diskusi mendalam,” kata dia.
Pilihan editor: 3 Institusi yang Boleh Terlibat dalam MPLS