Logo

Berbagai Tanggapan terhadap Hari Kebudayaan Nasional 17 Oktober


TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menjelaskan ihwal penetapan Hari Kebudayaan Nasional pada 17 Oktober berdasarkan masukan dari para budayawan, seniman, dan pelaku tradisi. “Ini merupakan masukan dari para budayawan, pekerja seni dan tradisi, yang merasa penting untuk ditetapkan tanggal sebagai hari kebudayaan,” kata Hasan Nasbi, seperti dikutip Antara, Rabu, 16 Juli 2025

Hasan menjelaskan, usulan mengenai Hari Kebudayaan Nasional sebagai apresiasi. “Hari kebudayaan untuk mengapresiasi para budayawan tradisi, pelaku seni tradisi, supaya juga tidak hanya sekadar diingat. Tapi, juga mendapatkan tempat dalam keberlanjutan pembangunan bangsa kita,” katanya.

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menetapkan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 tentang Hari Kebudayaan. “Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan,” demikian penggalan isi keputusan mennteri tersebut yang ditandatangani oleh Fadli Zon, Senin, 7 Juli 2025.

Apa Tanggapan Seniman?

Seniman Butet Kartaredjasa memandang tidak ada urgensi dalam penetapan Hari Kebudayaan Nasional. Menurut dia, tanpa ada hari kebudayaan pun para seniman dan budayawan tetap akan bekerja. “Banyak hal-hal yang lebih penting dan lebih urgen untuk dipikirkan serta dibuat kebijakannya,” kata Butet pada Senin, 14 Juli 2025.

Butet mengatakan penetapan Hari Kebudayaan Nasional harus dilakukan kajian mendalam serta melibatkan para seniman dan budayawan dari berbagai daerah. “Dan, harus mencari hari penting yang bertalian dengan kebudayaan di Indonesia. Misalnya, hari kongres kebudayaan pertama sebelum Indonesia merdeka,” katanya.

Ia mempertanyakan peristiwa sejarah kebudayaan apa yang menjadi landasan menetapkan 17 Oktober sebagai hari kebudayaan. Menurut dia, menetapkan hari kebudayaan pada tanggal yang bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto menimbulkan banyak spekulasi. “Apalagi kemudian cuma ada satu kelompok kecil mengusulkan, lalu disetujui dan memilih harinya itu kelihatan sekali  Kalau itu pilihan hari untuk menjilat,” ucap dia.

Menurut Butet, Prabowo sama sekali tidak memiliki jejak dan kontribusi dalam sejarah kebudayaan di Indonesia. “Dia itu militer,” katanya.

Tanggapan Akademisi

Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Franz Magnis Suseno meragukan bila penetapan Hari Kebudayaan berbarengan dengan hari lahir Prabowo sebagai sesuatu yang kebetulan. Apalagi, kata dia, penetapan hari kebudayaan ini dibuat oleh individu yang dekat dengan presiden. “Jangan membuat kebijakan asal Bapak senang, begitu. Jadi, ini suatu preseden yang perlu dicegah,” katanya, Rabu, 16 Juli 2025. “Jangan sampai penetapan hari seperti itu malah menjadi penyelewengan politik dengan menguntungkan segi-segi politik tertentu.”

Tanggapan Politikus PDIP

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima meminta publik untuk tidak mengaitkan penetapan hari kebudayaan nasional pada 17 Oktober dengan hari kelahiran Prabowo.  “Mari Hari Kebudayaan itu kita sambut baik. Saya mengapresiasi Pak Fadli Zon. Jangan disimplikasi, jangan terlalu dikecilkan, dikerdilkan dengan persamaan hari lahirnya Pak Prabowo,” kata Aria pada Senin, 14 Juli 2025.

Menurut Aria, penetapan hari besar itu menjadi momentum untuk menumbuhkan kebanggaan masyarakat akan budaya Indonesia. “Dan itu mampu memproteksi budaya-budaya Barat, budaya-budaya Arab, budaya-budaya luar yang akan menjadikan bangsa ini tidak berkarakter dan tidak bangga,” ucap Aria.

Penjelasan dari Pemerintah

Hasan Nasbi mengatakan keputusan menetapkan 17 Oktober merujuk pada terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara, yang menetapkan lambang negara Garuda Pancasila sekaligus mengukuhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian tidak terpisahkan dari lambang tersebut.

Pemerintah menilai momentum tersebut sebagai puncak pengakuan terhadap kemajemukan budaya Indonesia. “Menurut kajian yang disampaikan ke Kementerian Kebudayaan, inilah puncak pengakuan terhadap keberagaman kita sebagai bangsa yang plural, termasuk juga keberagaman budaya kita, dan ini yang dijadikan alasan,” ucapnya,

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951. “PP (Peraturan Pemerintah) tersebut menetapkan lambang Negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian integral dari identitas bangsa,” kata Menteri Kebudayaan Fadli Zon

Menurut Fadli, penetapan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional antara lain ditujukan untuk memperkuat Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol pemersatu. “17 Oktober adalah momen penting dalam perjalanan identitas negara kita. Ini bukan hanya tentang sejarah, tetapi juga tentang masa depan kebudayaan Indonesia yang harus dirawat oleh seluruh anak bangsa,” ucapnya. “Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi filosofi hidup bangsa Indonesia, yang mencerminkan kekayaan budaya, toleransi, dan persatuan dalam keberagaman.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *