Logo

ILRC: RUU KUHAP Belum Jamin Hak Masyarakat Adat


TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif The Indonesian Criminal Useful resource Heart Siti Aminah Tardi menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) belum sepenuhnya menjamin hak-hak elementary sejumlah kelompok rentan, seperti hak masyarakat adat.

“RUU KUHAP sebagai hukum formil untuk menegakkan KUHP nasional seharusnya mengakui dan menjamin hak masyarakat hukum adat sebagai pemangku hukum pidana adat itu sendiri,” kata Ami sapaan akrab Aminah dalam keterangan tertulis yang diterima pada Jumat, 18 Juli 2025.

Ami mengatakan bahwa masyarakat adat yang menjadi tersangka, terdakwa, atau korban berhak diperlakukan secara khusus, termasuk dalam bahasa, budaya, dan mekanisme penyelesaian konflik melalui hukum adat. “Proses hukum pidana adat sebaiknya tetap diselesaikan lewat mekanisme adat, sementara pengadilan hanya mengesahkan dalam bentuk penetapan,” ujar Ami.

Sementara itu, Badan Pengurus ILRC Renata Arianingtiyas menyoroti ketentuan Pasal 108 RUU KUHAP yang hanya melarang penggeledahan saat ibadah atau upacara keagamaan, tetapi tidak mencakup upacara adat.

“Bagi penganut agama leluhur, ritual adat adalah bagian dari keyakinan. Maka harus ada penegasan frasa ‘upacara adat’ agar perlakuannya setara dengan tujuh agama yang diakui,” ujarnya.

Renata juga menyoroti ketidakhadiran kata ‘kepercayaan’ dalam sejumlah pasal yang menyangkut identitas dan sumpah hukum. Menurut dia, hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan UU Administrasi Kependudukan yang telah mengakui hak penganut kepercayaan untuk dicantumkan dalam identitas resmi.

“Klausul ‘kepercayaan’ harus ditambahkan agar perlakuan negara tidak diskriminatif,” tegasnya.

Lebih lanjut, Renatta juga menilai RUU KUHAP belum menyinkronkan perlindungan hak keluarga korban sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak Korban Tindak Pidana. Saat ini, hanya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang secara eksplisit menjamin hak keluarga korban, dan hal itu belum diadopsi untuk tindak pidana lain.

Renatta menyebut RUU KUHAP masih terlalu dini untuk disahkan. Maka penting untuk mendesak DPR khususnya Komisi III, membuka ruang diskusi publik yang bermakna. “RUU ini belum menjamin perlindungan menyeluruh. Harus ada jaminan hak yang setara bagi seluruh warga, tanpa kecuali,” pungkas Renata.

Sebagai informasi, bersama koalisi RKUHP, ILRC sejak 2010 telah mengkaji dan mendorong reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM) in step with 11 Juli 2025, ILRC menilai sejumlah isu penting belum diakomodasi dalam RKUHAP, terutama terkait tiga hal utama: hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, hak masyarakat hukum adat, dan hak keluarga korban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *