Logo

Sistem Pilkada Langsung Sudah Diatur Sejak 1957


TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkap kembali sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia. Ia mengatakan pemilihan kepala daerah secara langsung sudah diatur sejak 1957, yaitu di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

“Bagian penjelasan ketiga undang-undang itu dijelaskan kepala daerah itu haruslah orang yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat,” kata Titi dalam diskusi berjudul “Urgensi Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu untuk Rekayasa Nasional Tahun 2029 hingga Pemilu Daerah 2031” yang disiarkan juga melalui kanal Youtube Perludem, pada Jumat, 18 Juli 2025.

Ia menegaskan, pada memori penjelasan bagian ketiga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah itu sangat gamblang menyebut pemilihan kepala daerah secara langsung. Di situ disebutkan bahwa “Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud tersebut ialah bahwa kepala daerah itu haruslah dipilih langsung olehrakyat dari daerah yang bersangkutan”.

Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia ini menjelaskan pemilu daerah merupakan barang lama yang hidup kembali berdasarkan undang-undang tersebut. Ia mengatakan tujuan dimunculkannya kembali adalah untuk memperbaiki sistem pemilu Indonesia saat ini.

Penjelasan Titi tersebut sekaligus merespons putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah, pada 26 Juni 2025. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden serta pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Lalu pemilu daerah meliputi pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota DPRD. Putusan Mahkamah ini sekaligus mempertegas bahwa pemilihan kepala daerah digelar secara langsung.

Adapun pemilihan kepala daerah lewat DPRD kembali mewacana sejak Presiden Prabowo Subianto menggelindingkan ketika ia berpidato di perayaan ulang tahun Partai Golkar. Alasan utamanya, biaya pemilihan kepala daerah secara langsung sangat mahal. 

Titi Anggraeni melanjutkan, masa jabatan kepala daerah seharusnya disesuaikan juga dengan periode pemilihan anggota DPRD. Sehingga kepala daerah terpilih dan berakhir masa jabatannya secara bersama-sama dengan anggota DPRD. Namun, kata dia, Indonesia berada dalam masa transisi pada 1957 sehingga perangkat hukum saat itu belum sepenuhnya tersedia untuk menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung.

“Maka untuk masa transisi menuju pemilihan langsung ketika itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 mengatur pemilihan kepala daerah bersama dengan pemilihan DPRD,” ujar Titi.

Menurut dia, seharusnya masyarakat tidak perlu terkejut dengan munculnya pemilu serentak. Tapi kenyataannya, kata dia, masyarakat Indonesia menganggap seolah-olah pemilu serentak itu merupakan hal baru. Padahal ketentuan itu sudah ada sejarahnya sejak 1957.

Ia mengatakan seharusnya masyarakat Indonesia mengenal dan teliti mengenai sejarah pemilunya. “Untuk melihat sesuatu itu baru atau tidak, Indonesia perlu melihat dan merefleksikan perjalanan pemilunya,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *