Logo

Regulasi Dana Korban Kekerasan Seksual Dianggap Abai terhadap Kelompok Rentan


TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah telah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Kekerasan Seksual sebagai turunan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, regulasi tersebut dianggap belum menjawab kebutuhan korban, khususnya perempuan adat dan penyandang disabilitas.

Pilihan editor: Anggaran Pendidikan 20 Persen untuk Siapa?

Penilaian tersebut disampaikan pemerhati hak kesehatan seksual dan reproduksi, Nur Jannah, dalam konferensi pers soal “Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban tidak Menjawab Kebutuhan Penangan Korban Kekerasan Seksual” yang digelar di Resort Tamarin, Jakarta, Senin, 21 Juli 2025. “PP tersebut justru berpotensi membatasi akses korban terhadap pemulihan,” ujar Nur.

Aktivis dari Perempuan Aman, Yeryana, mengatakan terdapat hambatan geografis dan struktural yang dialami perempuan adat dalam mengakses keadilan. Salah satu hambatannya, yakni ketika korban mencari akses atau laporan ke polisi, menjalani sidang, sampai putusan.

Korban dari masyarakat adat dan penyandang disabilitas kerap menempuh jalan berlumpur hingga puluhan kilometer. Selain itu, terdapat daerah yang hanya mempunyai akses transportasi melalui sungai dengan waktu tempuh mencapai belasan jam untuk mencapai kepolisian resor terdekat. “Itu sangat berat bagi kami perempuan adat,” ujar Yeryana. 

Selain hambatan fisik, Yeryana menyoroti kekakuan sistem hukum yang tidak sejalan dengan praktik adat. Ia juga menekankan bahwa dalam peradilan adat, pemulihan trauma korban tidak pernah menjadi bagian dari keputusan. “Untuk pemulihan korban seperti traumanya dan lainnya itu tidak ada,” ujarnya.

Stigma dan tekanan sosial juga menjadi faktor dominan yang mempersulit korban untuk melapor. “Kalau dia masih gadis, siapa yang akan mau menikahinya,” ujarnya. “Atau ketika dia berkeluarga, potensi besar dia bisa cerai.”

Yeryana menyesalkan kebijakan pemerintah yang justru membuat banyak perempuan disabilitas tetap tidak terlindungi. Ia menegaskan, “Kalau ada dari kami yang tidak bisa dilindungi karena peraturan yang ada ini, jadi untuk apa?”.

Ketua II Bidang Advokasi dan Peningkatan Kesadaran Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Rina Prasarani, turut mengkritik ketidakinklusifan regulasi tersebut tersebut. Ia menuturkan bahwa perempuan penyandang disabilitas mengalami tantangan berlapis. 

Mereka membutuhkan pendampingan dan penerjemah, terutama bagi korban tunarungu yang tidak mengenyam pendidikan formal. Sayangnya, PP ini tidak memberikan mekanisme yang menjamin layanan tersebut.

Ia menyoroti lemahnya peran negara dalam memberikan bantuan langsung kepada penyintas disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual. Ia menyebut beban pemulihan dan pendampingan justru lebih banyak dipikul oleh organisasi masyarakat sipil. “Semua beban itu ditanggungkan kepada organisasi,” tegas Rina. 

Rina menyebut hanya perempuan disabilitas dengan kekuatan finansial dan psychological yang bisa mengakses proses hukum. “Jika ini terus dibiarkan, yang terjadi adalah pelaku-pelaku yang menyasar kepada korban-korban yang rentan itu akan dengan mudah menyasar lagi,” tandasnya. 

Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia, menambahkan bahwa skema dana bantuan dalam PP tersebut justru menyempitkan makna restitusi. “Restitusi yang sudah ada maka dana bantuan korban di dalam PP ini akan diproses oleh LPSK, sisanya,” katanya. 

Padahal, kata dia, kerugian korban seharusnya diakui sejak awal kejadian, bukan hanya saat sudah diputuskan pengadilan.

Ia juga mengkritik sumber pendanaan yang tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebab, sumber-sumber pendanaan itu berasal dari filantropi. Padahal, menurut dia, negara yang harus memikul tanggung jawab terhadap pemulihan korban, bukan organisasi masyarakat.

“Ini adalah tanggung jawab negara dan nomenklatur anggarannya seharusnya jelas dari APBN atau APBD,” ujarnya.

Pilihan editor: Mengapa Panitia Munas BEM SI Hadirkan Pejabat dan Politikus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *