Save the Childern: Anak Indonesia Belum Aman dari Kekerasan
TEMPO.CO, Jakarta – Leader Govt Officer (CEO) Save the Kids Indonesia Dessy Kurwiany menyebut, anak-anak di Indonesia masih berada dalam situasi rentan akan ancaman kekerasan. Ia mendesak penguatan sistem perlindungan pada momentum Hari Anak Nasional.
Merujuk catatan Sistem Informasi On-line Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) in keeping with Juli 2025, tercatat 15.615 kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Artinya, kata dia, secara statistik 1 dari 2 anak pernah mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual.
“Kekerasan seksual merupakan kasus tertinggi dengan 6.999 kasus,” kata Dessy melalui keterangan tertulis yang diterima Pace, Rabu, 23 Juli 2025.
Dia melanjutkan, dari catatan Simfoni PPA juga disebutkan bahwa anak usia 13-17 tahun merupakan kelompok usia anak yang paling banyak menjadi korban kekerasan. khususnya kekerasan seksual.
Dessy menuturkan, bentuk kekerasan seksual yang menimpa anak kelompok usia tersebut dilakukan dengan bentuk yang beragam, misalnya menyentuh tubuh tanpa diinginkan, memaksa melakukan hubungan seksual, menyaksikan tindakan seksual, melakukan perkawinan anak, hingga meminta mengirimkan konten seksual.
Masalahnya, kata dia, kasus kekerasan ini paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga dengan 9.956 kasus. Alih-alih menjadi rumah yang aman bagi anak, rumah justru menjadi ruang yang amat rentan terjadi kasus kekerasan pada anak.
“Ketika rumah tidak lagi jadi tempat aman bagi anak, maka ada yang salah dari sistem perlindungan ini,” ujar dia.
Karenanya, kata dia, Save the Kids mendesak agar negara hadir dan memastikan anak-anak terlindungi dari ancaman kasus kekerasan. “Keluarga, sekolah, dan negara harus hadir, harus sadar agar. Anak-anak berhak tumbuh tanpa rasa takut,” ucap Dessy.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, secara regulasi Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki instrumen perlindungan anak dengan standing lengkap.
Namun, kata dia, kendati begitu fakta di lapangan berkata lain. Dia menyebut, penegakan perlindungan anak di lapangan amat penuh tantangan, terutama ihwal konsistensi penegakan hukum.
“Negara tidak bisa sendirian, untuk menjawab berbagai persoalan, perlu ada intervensi keluarga melalui berbagai program kerakyatan dalam perlindungan anak,” ujar Jasra.