PDIP: Publik Tahu Kasus Hasto Direkayasa
TEMPO.CO, Jakarta – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komarudin Watubun menyatakan bahwa publik sudah mengetahui kasus hukum yang menjerat Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai bentuk hukum yang direkayasa. Menurutnya, perkara tersebut tidak lepas dari kepentingan politik.
“Kasus Hasto kan sudah terbuka semua di pengadilan dan publik sudah tahu bahwa itu kasus hukum yang direkayasa,” kata Komarudin saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025.
Komarudin berharap proses hukum terhadap Hasto tidak bernasib seperti yang dialami mantan menteri perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara dalam perkara korupsi impor gula. Ia menyebut Tom sebagai korban kriminalisasi. “Jangan bernasib seperti Tom Lembong,” ujarnya.
Lebih lanjut, politikus PDIP ini mengatakan sejumlah fakta persidangan yang terungkap melalui kesaksian para ahli menunjukkan bahwa Hasto tidak bersalah dalam kasus tersebut. Ia pun berharap majelis hakim dapat bersikap objektif dan tidak memanipulasi jalannya proses hukum.
“Saya kemarin lihat banyak para ahli, pakar, menyampaikan pendapat. Tidak mempengaruhi hakim sih, tapi minta hakim di negara hukum yang adil, jangan negara hukum yang direkayasa,” tuturnya.
Ditemui secara terpisah, Ketua DPP PDIP Puan Maharani enggan memberikan banyak komentar saat dimintai tanggapan menjelang sidang putusan Hasto. “Yang terbaik,” ujar Ketua DPR itu di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Adapun sidang vonis Hasto akan berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Jumat, 25 Juli 2025. Hasto dituntut bersalah melakukan suap pergantian antarwaktu anggota DPR serta perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Jaksa menuntut agar Hasto dihukum penjara selama tujuh tahun. Dia juga dituntut membayar pidana denda sebesar Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan.
Hasto dituntut melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) untuk perbuatan korupsinya. Dia juga dituntut melanggar Pasal 5 Ayat (1) UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP atas perintangan penyidikan.