Logo

Pimpinan Golkar: Putusan MK Menambah Kompleksitas Pemilu


TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Umum Partai Golkar Adies Kadir menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat sistem pemilihan umum atau pemilu di Indonesia semakin kompleks. Pandangan itu dia sampaikan setelah MK menyatakan pemilu nasional dan daerah harus diselenggarakan secara terpisah melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Menurut Adies, putusan tersebut telah mengguncang dunia hukum dan politik di Tanah Air. “Dampaknya luar biasa putusan ini,” kata Adies dalam kegiatan diskusi di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Slipi, Jakarta, pada Kamis, 24 Juli 2025.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengetuk putusan yang memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal. Maka dari itu, pemilu dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tidak bisa bersamaan dengan pemilihan presiden, wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) seperti pada 2024. 

Selain itu, MK juga menyatakan pemilu nasional dan daerah harus dilaksanakan dengan jarak waktu setidaknya dua hingga dua setengah tahun. Dengan begitu, masa jabatan anggota DPRD berpotensi bertambah menjadi tujuh tahun.

Ketentuan itu Adies nilai menimbulkan kontroversi. “Sekilas ini nampak merupakan solusi yang sistemik, tapi mari kita cermati putusan ini secara kritis,” tutur Wakil Ketua DPR itu.

Menurut Adies, pemilihan anggota DPRD seharusnya masuk dalam rezim pemilu yang sama dengan pemilihan presiden, wakil presiden, DPR, dan DPD jika merujuk kepada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sementara itu, pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal yang berbeda dalam konstitusi sehingga tidak dianggap bagian dari rezim Pemilu.

Putusan MK, kata Adies, menyiratkan Pemilu DPRD tidak masuk dalam rezim Pemilu. Padahal, UUD 1945 telah menentukan Pemilu harus digelar dalam lima tahun sekali. Putusan MK berimplikasi terhadap berubahnya ketentuan waktu lima tahun sekali itu untuk Pemilu DPRD.

Adies menilai MK terkesan memaksa pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional demi mewujudkan pemisahan Pemilu. “Alih-alih memberi arah dengan penyederhanaan Pemilu, Mahkamah justru menambah kompleksitas. Yang kita hadapi sekarang adalah rekonstruksi overall kepemiluan kita,” kata dia.

Adies berujar partainya akan tetap menghormati putusan MK. “Tapi bukan berarti tak boleh diuji dengan akal sehat. Demokrasi butuh desain, bukan eksperimen,” tuturnya.

Putusan MK mengubah Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029 mendatang. Pemilu lima kotak merujuk kepada gelaran Pemilu dengan lima kotak suara secara bersamaan. Kelimanya adalah kotak suara presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota.

MK memutus ketentuan pemisahan Pemilu pada Kamis, 26 Juni 2025. “Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan.

Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan editor: PDIP Berharap Putusan untuk Hasto Tidak Bernasib seperti Tom Lembong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *