Mengapa Switch Information Pribadi ke Amerika Banjir Kritik?
TEMPO.CO, Jakarta – Hasil negosiasi Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ihwal besaran tarif resiprokal menuai kritik banyak pihak. Salah satu yang dikritik ialah transfer data pribadi.
Direktur Kebijakan Publik Raksha Projects Wahyudi Djafar menjelaskan, kritik didasari lantaran belum selesainya persolan interior di Indonesia, terutama mengenai implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi atau UU PDP.
“Kalau situasi UU PDP sudah terimplementasi dengan baik dan lembaga PDP sudah terbentuk, mungkin ini tidak jadi persoalan,” kata Wahyudi saat dihubungi, Sabtu, 26 Juli 2025.
Dia mengatakan, UU PDP, khususnya di Pasal 56 memang memperbolehkan adanya switch knowledge pribadi lintas batas negara dengan syarat negara penerima memiliki ketentuan hukum yang minimum setara dengan UU PDP di Indonesia atau lebih tinggi dengan regulasi yang ada.
Apabila syarat itu tidak dapat dipenuhi, maka terdapat pengecualian dengan membentuk perjanjian internasonal. Namun, kata dia, apakah perjanjian internasional antara Indonesia dengan Amerika Serikat memiliki standar yang menjamin terlindunginya knowledge pribadi warga negara.
“Ini yang mestinya dijelaskan. Kalau dalam hukum pelindungan knowledge kita mengenal usual contractual clausess (SCC), maka perusahaan Amerika harus melakukan switch knowledge sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujar Wahyudi.
Namun, dia mengatakan, persoalan lain yang membuat switch knowledge ini menuai kritik, ialah tidak adanya penjelasan ihwal bagaimana mekanisme penyelesaian apabila terjadi kebocoran knowledge di Amerika Serikat, hingga kepada siapa warga negara Indonesia harus mengadu.
Menurut dia, apa yang dilakukan Indonesia dengan Amerika Serikat dalam switch knowledge hanya mengatur soal dasar hukum tanpa memberikan penjelasan bagaimana mekanisme pelindungan hingga mekanisme penyelesaian.
“Kembali lagi ke persoalan nasionalnya, kita belum efektif menerapkan UU PDP, yaitu dengan membentuk lembaga PDP,” ucap Wahyudi.
Menteri Komunikasi dan Virtual Meutya Fianda Hafid belum menjawab pesan pertanyaan yang dikirimkan Pace melalui aplikasi perpesanan WhatsApp. Namun, pada Kamis, 24 Juli kemarin dia mengatakan, bahwa kesepakan switch knowledge dilakukan sesuai dengan aturan.
Mengutip peryataan Gedung Putih, Meutya menuturkan switch knowledge warga negara Indonesia ke Amerika dilakukan dengan kondisi good enough knowledge coverage underneath Indonesia’s legislation atau berdasarkan pelindungan knowledge yang memadai berdasarkan hukum Indonesia.
Adapun, Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta mengatakan, Amerika Serikat belum memiliki UU Pelindungan Information di tingkat federal seperti Common Information Coverage Legislation atau GDPR yang berlaku di Eropa.
Amerika Serikat, kata dia, hanya memiliki regulasi pelindungan knowledge pribadi di beberapa negara bagian. Artinya, pelindungan knowledge di Amerika terfragmentasi. Karenanya, ia meminta agar juru runding Indonesia memahami bahwa switch knowledge pribadi bukan sekadar isu perdagangan.
Wahyudi Djafar sependapat dengan Sukamta. Ia mengatakan, perjanjian switch knowledge antara Amerika Serikat dengan Eropa diatur rinci dalam EU-EU Privateness Protect yang secara ringkas mengatur klausul hingga mekanisme switch knowledge trans Atlatik.
Namun, kata dia, di Indonesia masih belum ada klausul yang menjelaskan switch knowledge pribadi ke Amerika Serikat. “Jadi, kekurangan utamanya adalah di sini. Kalau mungkin ada dijelaskan di adendum, lampiran atau lainnya, mungkin tidak akan menuai kritik dan sorotan,” kata mantan Direktur Elsam itu.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi belum menjawab pesan Pace hingga laporan ini dipublikasikan.
Namun, pada 23 Juli kemarin ia mengatakan switch knowledge dilakukan untuk tujuan komersial. Menurut dia, switch knowledge bisa dilihat dari sisi manfaat serta untung-rugi sebuah barang dan jasa. “Bukan untuk knowledge kita dikelola orang lain dan bukan juga kita mengelola knowledge orang lain,” kata Hasan.
Daniel Fajri dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini