Dua Pemohon Gugat Aturan PAW Anggota DPR ke MK
TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi menerima dua permohonan gugatan mengenai hak partai politik melakukan pergantian antarwaktu atau PAW anggota DPR RI. Pada situs resmi MK, terdapat dua permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Kedua permohonan gugatan itu teregister di nomor perkara 41/PUU-XXII/2025 dan 42/PUU-XXII/2025.
Pemohon gugatan nomor 41/PUU-XXII/2025 terdiri dari Chindy Trivendi Junior, Halim Rahmansah, Insan Kamil, Muhammad Arya Ansar, dan Wahyu Dwi Kanang. Gugatan itu didaftarkan ke MK pada 17 Maret 2025.
Para pemohon meminta pengujian uji materiil terhadap Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Dalam pasal itu, tertuang bahwa anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan PAW atau recall oleh partai politik tanpa adanya dasar parameter yang jelas itu dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Pada pokok permohonan, para pemohon menyebut bahwa anggota DPR bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya, bukan hanya kepada partai politik yang mencalonkannya.
“Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia yang diejawantahkan melalui wakil-wakilnya pada masing-masing daerah pilihannya (dapil) sehingga anggota DPR dalam setiap tindakannya bertanggung jawab atas nama konstituen,” demikian tertulis dalam permohonan para penggugat.
Menurut mereka, seharusnya hak untuk melakukan recall anggota DPR melekat pada rakyat masing-masing daerah pemilihan (konstituen), bukan pada partai politik secara mutlak.
Sementara itu, gugatan nomor perkara 42/PUU-XXII/2025 diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Gugatan ini didaftarkan ke MK pada 19 Maret 2025. Ia mengajukan permohonan uji materiil UU MD3 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam materi gugatannya, Zico menyebut anggota DPR ialah perwakilan rakyat yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kepentingan rakyat dan bukan terhadap kepentingan partai politik. “Anggota DPR dipilih melalui sistem proporsional terbuka, di mana suara rakyat menentukan posisi calon dalam daftar partai. Namun, dalam praktiknya, loyalitas utama anggota DPR adalah kepada partai politik yang mengusungnya, bukan kepada konstituen,” tulis Zico dalam gugatannya.
Zico menilai kewenangan PAW yang dimiliki oleh partai politik berpotensi mengancam independensi Parlemen karena memberikan pengaruh yang besar dari partai politik terhadap kadernya. Hal itu, ia melanjutkan, tidak relevan dengan prinsip negara demokrasi. Dia menilai hak recall partai politik cenderung mengesampingkan kehendak rakyat dan menyulitkan partisipasi politik rakyat secara menyeluruh.